Langsung ke konten utama

Tauhid yang Benar: 99% Umat Islam Belum Bersyahadat

Inti dari tauhid adalah, mengesakan Tuhan. Mengesakan apapun tentang Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Wujud. Hanya Tuhan yang Maha Berkehendak. Hanya Tuhan yang Maha Berbuat.

Maha Wujud artinya, hanya Tuhan yang Ada. Selain Tuhan hakikatnya tidak ada. Artinya apapun yang ada di langit dan di bumi, di Barat dan di Timur, hakikatnya adalah tajali (penampakan) dari keberadaan Tuhan. Alam dengan segala isinya, mulai dari langit, gunung, sawah, laut, manusia, hewan dan mahkluk apapun, adalah penampakkan dari wajah Tuhan.

Intinya, ibaratnya semua selain Tuhan, adalah hanya bayang-bayang Tuhan. Atau cermin Tuhan. Keberadaannya bersifat semu. Tanpa adanya Tuhan, semua itu tak kan pernah ada. Tuhan adalah sebab segala sesuatu menjadi ada. Dan segala sesuatu, adalah akibat dari adanya Tuhan. Bukan disebabkan oleh dirinya sendiri. Itu yang dimaksud dengan Tuhan Maha Berkehendak. Apapun kenyataan yang terjadi, adalah perujudan  dari kehendak Tuhan dibalik layar. Tak ada yang lepas dari kehendakNya.

Jadi baik adanya segala sesuatu, kemauan segala mahkluk yang berbuat, lengkap dengan hasil perbuatannya, adalah perpanjangan tangan dari keberadaan, keinginan dan perbuatan Tuhan. Meskipun bila dilihat secara zahir, semua itu tampak oleh mata sebagai bukan dari Tuhan, oleh Tuhan dan kembali pada Tuhan. Tapi hakikatnya justru demikian, semuanya tak ada yang bukan dari Tuhan, tak ada yang bukan perbuatan Tuhan dan juga tak ada yang tak kembali pada Tuhan. Semua selainNya, hanya akibat dari Tuhan dan kembali pada Tuhan itu sendiri.

Maka sadar akan hal itulah yang dimaksud dengan beriman sekaligus menghamba pada Tuhan. Lalu benar benar telah menyaksikan semua itu dengan mata hati, disebut sebagai telah bersyahadat pada Tuhan. “Aku ini bukanlah aku. Kehendak ini bukanlah kehendakku. Dan perbuatan ini bukanlah perbuatanku. Tapi Engkaulah dibalik semua ini. Aku hanya budakMu Tuhan. Robot pasif yang Engkau buat dan kendalikan sesukaMu. Akulah ketiadaan murni ya Tuhanku.”

Maka selalu sadar dan rela akan kenyataan seperti itu dalam hati, disebut sebagai telah ridho dengan Tuhan. Tak ada lagi penolakan, kritik dan celaan terhadap apa dan siapapun. Karena siapapun tak ada yang bisa menolaknya. Mengingkarinya dalam hati, sama saja dengan bunuh diri secara mental. Sama artinya dengan menyiksa diri. Karena siapapun tak punya pilihan apapun selain hanya patuh pada kenyataan yang menimpanya. Satu-satunya yang bisa dipilih manusia, hanya kesadarannya. Hanya sikap bathinnya. Mau mengakui semua itu dalam hati dengan tulus atau tidak. Mau rela pasrah akan semua itu atau tidak.

Nah sikap bathin seperti itulah yang disebut dengan telah bersyahadat. Hati terdalam telah bersaksi atas kenyataan seperti itu. Mau diucapkan secara lafadz atau tidak, bukan jadi soal. Bahkan hanya sekedar mengucapkan kalimat syahadat secara lisan maupun dalam hati, tapi sikap bathinnya belum sampai menyadari akan hal itu, belum sampai mengakui akan hal itu, maka sama artinya dengan belum bersyahadat sama sekali pada Tuhan.

Pengakuan dan penerimaan tanpa kata tanpa suara dalam hati itulah inti dari syahadat. Dan itulah yang akan dinilai oleh Tuhan. Apakah seorang hamba telah menyadari itu atau tidak. Jika sudah, itu artinya seorang hamba telah kembali pada Tuhannya. Tapi jika itu belum disadari, maka itu artinya seorang hamba buta dan tuli terhadap Tuhan. Tapi jika sudah disadari namun sering lupa, maka itu disebut lalai pada Tuhan. Sedang jika telah tahu akan hal itu tapi hatinya menolak kenyataan seperti itu, maka hamba tersebut disebut kafir terhadap Tuhannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...