Iman yang benar, tidak ada kebencian pada apa dan siapapun yang
bersemayam di hati kita. Karena yang kita lihat dalam hidup ini, hanya Tuhan. Kalau
hati kita berhasil melihat segala sesuatu sebagai Tuhan, maka tak mungkin kita
akan membencinya.
Melihat Tuhan maksudnya, apapun yang terjadi dalam hidup
ini, kita sadari semua itu adalah kerja Tuhan dibalik layar. Adalah perwujudan dari
perbuatan Tuhan dalam bentuk zahir. Baik peristiwa alam, maupun segala sifat
dan perbuatan manusia.
Itu artinya,
Apapun tak ada yang boleh kita tolak apalagi kita benci. Karena menolak apalagi
membencinya, sama artinya dengan membenci Tuhan itu sendiri. Sama artinya kita tidak
setuju dengan kehendak dan perbuatan Tuhan. Kita tidak ridho dengan takdir Tuhan.
Kita tidak rela dengan apa yang diperbuat oleh Tuhan. Jika itu yang ada di hati
kita, maka kita akan disiksa oleh Tuhan. Bathin kita akan dipanggang oleh Tuhan
tanpa kita sadari. Bukti siksaan Tuhan itu adalah, hati kita merasa menderita. Dan
rasanya sangat pedih. Dibuang rasa itu tidak bisa dan jalan keluarnya juga
tidak ada. Itulah neraka di dunia.
Lalu kapan penderitaan bathin itu bisa hilang?
Ketika kita sudah rela pasrah menerimanya dengan tulus. Ketika kita sudah
sadar, bahwa bila Tuhan berkehendak suatu nasib untuk diri kita, atau apapun di
sekeliling kita, maka siapapun tak ada yang bisa menolaknya. Setuju tidak
setuju, suka tidak suka, sanggup tidak sanggup, tak ada pilihan selain harus
menerimanya. Yang tak menerima dalam hatinya, akan menderita. Sebaliknya yang
menerimanya dengan rela, akan diselamatkan Tuhan. Kesusahan dan penderitaan zahir
itu akan diganti Tuhan dengan kelezatan terbalik secara bathiniah. Meski tubuhnya
tetap sakit atau dalam kesusahan, tapi hatinya tidak akan merasakan apa-apa
lagi.
Nah pengakuan hati seperti itulah yang dimaksud dengan iman
yang benar. Kita menyakini bahwa yang bisa berkehendak dan berbuat dalam hidup
kita dan apapun, hanya Tuhan. Kita sebagai manusia, tak bisa berbuat apapun
untuk diri kita sendiri. Apalagi terhadap orang lain. Semua yang terjadi pada
diri kita maupun orang lain, adalah karena kendali atau takdir Tuhan tanpa kita
sadari. Meskipun secara zahir terlihat kita atau orang lain yang berbuat, tapi
secara hakikatnya, semua perbuatan atau tindakan itu, hanya perpanjangan tangan
dari takdir Tuhan dibalik layar.
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan
dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki
Allah” (QS. Yunus: 49).
Itu artinya yang bisa kita lakukan hanya bersabar bila
diberi kesusahan, dan bersyukur bila diberi kemudahan. Baik sabar maupun
syukur, itu adalah kata lain dari kita menerima dengan ikhlas terhadap takdir
Tuhan. Hati kita tidak membantah atau tidak melawan. Tapi jika hati kita tidak
bisa terima, maka kita akan menderita sendiri. Kita akan dicekik oleh nafsu
kita sendiri. Kita dibuatnya terjebak bersikeras untuk menolak dan mengubahnya.
Padahal ambisi seperti itu hanya akan sia-sia. Hasil akhirnya akan tetap tidak mengubah
apapun.
Jadi meskipun kita mengaku telah beriman pada Tuhan, lalu
disisi lain juga rajin beribadah, tapi di hati kita masih bersarang berbagai
kebencian terhadap apapun, maka sesungguhnya itu adalah iman palsu. Zahirnya
saja yang terlihat kita seolah-olah beriman. Tapi isinya dalam hati kita adalah
gejolak hawa nafsu. Bahkan sebenarnya belum Islam. Tapi masih kafir. Karena Islam itu intinya adalah pasrah. Jadi orang
yang telah Islam maksudnya adalah ketika orang itu telah berpasrah diri pada
Tuhan. Tangan dan kaki tetap bekerja dan usaha apapun, tapi hatinya selalu rela
tanpa syarat menerima apapun yang diberikan Tuhan untuk dirinya.
*) Tulisan ini dikutip dari pengalaman saya sendiri, yang sempat terjebak selama 3 bulan terakhir ini hidup dalam perangkap iman palsu
Komentar
Posting Komentar