Langsung ke konten utama

Tanda-tanda dan Akibat Iman Palsu

Iman yang benar, tidak ada kebencian pada apa dan siapapun yang bersemayam di hati kita. Karena yang kita lihat dalam hidup ini, hanya Tuhan. Kalau hati kita berhasil melihat segala sesuatu sebagai Tuhan, maka tak mungkin kita akan membencinya.

Melihat Tuhan maksudnya, apapun yang terjadi dalam hidup ini, kita sadari semua itu adalah kerja Tuhan dibalik layar. Adalah perwujudan dari perbuatan Tuhan dalam bentuk zahir. Baik peristiwa alam, maupun segala sifat dan perbuatan manusia.

Itu artinya,
Apapun tak ada yang boleh kita tolak apalagi kita benci. Karena menolak apalagi membencinya, sama artinya dengan membenci Tuhan itu sendiri. Sama artinya kita tidak setuju dengan kehendak dan perbuatan Tuhan. Kita tidak ridho dengan takdir Tuhan. Kita tidak rela dengan apa yang diperbuat oleh Tuhan. Jika itu yang ada di hati kita, maka kita akan disiksa oleh Tuhan. Bathin kita akan dipanggang oleh Tuhan tanpa kita sadari. Bukti siksaan Tuhan itu adalah, hati kita merasa menderita. Dan rasanya sangat pedih. Dibuang rasa itu tidak bisa dan jalan keluarnya juga tidak ada. Itulah neraka di dunia.

Lalu kapan penderitaan bathin itu bisa hilang?

Ketika kita sudah rela pasrah menerimanya dengan tulus. Ketika kita sudah sadar, bahwa bila Tuhan berkehendak suatu nasib untuk diri kita, atau apapun di sekeliling kita, maka siapapun tak ada yang bisa menolaknya. Setuju tidak setuju, suka tidak suka, sanggup tidak sanggup, tak ada pilihan selain harus menerimanya. Yang tak menerima dalam hatinya, akan menderita. Sebaliknya yang menerimanya dengan rela, akan diselamatkan Tuhan. Kesusahan dan penderitaan zahir itu akan diganti Tuhan dengan kelezatan terbalik secara bathiniah. Meski tubuhnya tetap sakit atau dalam kesusahan, tapi hatinya tidak akan merasakan apa-apa lagi.

Nah pengakuan hati seperti itulah yang dimaksud dengan iman yang benar. Kita menyakini bahwa yang bisa berkehendak dan berbuat dalam hidup kita dan apapun, hanya Tuhan. Kita sebagai manusia, tak bisa berbuat apapun untuk diri kita sendiri. Apalagi terhadap orang lain. Semua yang terjadi pada diri kita maupun orang lain, adalah karena kendali atau takdir Tuhan tanpa kita sadari. Meskipun secara zahir terlihat kita atau orang lain yang berbuat, tapi secara hakikatnya, semua perbuatan atau tindakan itu, hanya perpanjangan tangan dari takdir Tuhan dibalik layar.

“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah” (QS. Yunus: 49).

Itu artinya yang bisa kita lakukan hanya bersabar bila diberi kesusahan, dan bersyukur bila diberi kemudahan. Baik sabar maupun syukur, itu adalah kata lain dari kita menerima dengan ikhlas terhadap takdir Tuhan. Hati kita tidak membantah atau tidak melawan. Tapi jika hati kita tidak bisa terima, maka kita akan menderita sendiri. Kita akan dicekik oleh nafsu kita sendiri. Kita dibuatnya terjebak bersikeras untuk menolak dan mengubahnya. Padahal ambisi seperti itu hanya akan sia-sia. Hasil akhirnya akan tetap tidak mengubah apapun.

Jadi meskipun kita mengaku telah beriman pada Tuhan, lalu disisi lain juga rajin beribadah, tapi di hati kita masih bersarang berbagai kebencian terhadap apapun, maka sesungguhnya itu adalah iman palsu. Zahirnya saja yang terlihat kita seolah-olah beriman. Tapi isinya dalam hati kita adalah gejolak hawa nafsu. Bahkan sebenarnya belum Islam. Tapi masih kafir.  Karena Islam itu intinya adalah pasrah. Jadi orang yang telah Islam maksudnya adalah ketika orang itu telah berpasrah diri pada Tuhan. Tangan dan kaki tetap bekerja dan usaha apapun, tapi hatinya selalu rela tanpa syarat menerima apapun yang diberikan Tuhan untuk dirinya.

*) Tulisan ini dikutip dari pengalaman saya sendiri, yang sempat terjebak selama 3 bulan terakhir ini hidup dalam perangkap iman palsu

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...