Langsung ke konten utama

Takdir Tuhan VS Ikhtiar Manusia: Mana yang Benar?

Meyakini hanya salah satu secara ekstrem kedua pilihan tersebut, efeknya sangat berlawanan. Itu yang terjadi pada paham Jabariyah dan Qadariyah dalam sejarah Teologi Islam.

Kaum Jabariyah meyakini bahwa kenyataan hidup adalah salinan penuh dari takdir Tuhan. Apapun yang terjadi, semuanya murni hanya ejawantah dari kehendak dan perbuatan Tuhan. Realitas adalah manifestasi mutlak dari skenario Tuhan sejak azalinya. Manusia, tak punya pilihan apapun. Kehendak dan perbuatan manusia, pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari aliran kehendak dan perbuatan Tuhan dibalik layar. Karena itu tak ada yang namanya kehendak bebas (free will). Bahkan totalitas kehidupan dengan segala isinya, juga demikian. Singkat kata, apapun yang terjadi, adalah tajali (penampakkan) dari kehendak dan perbuatan Tuhan.

Dengan cara itulah, keesaan dan kesucian Tuhan menjadi terjaga tanpa celah sedikit pun. Itu yang dimaksud dengan Tauhid, yaitu mengesakan Tuhan secara kaffah. Itu artinya, manusia pada hakikatnya adalah fana. Sebuah ketiadaan murni. Tidak punya apa-apa. Tidak wujud, tidak bisa berkehendak dan tidak bisa berbuat apapun. Kalau pun terlihat manusia itu ada, lalu punya keinginan dan berbuat apapun, sesungguhnya semua itu hanya pinjaman dari Tuhan. Ibaratnya manusia hanya pipa kosong tempat belalu lalangnya wujud, kehendak dan perbuatan Tuhan.  Manusia menjadi ada hanya karena diadakan oleh Tuhan. Manusia bisa jadi berkehendak dan berbuat karena dikehendaki dan digerakkan oleh Tuhan. Intinya manusia itu dengan segala derivasinya hanya bayang bayang Tuhan.

Umumnya kaum Sufi, ahli zuhud atau penempuh jalan makrifat, juga menganut paham seperti ini.

Tapi bagi kaum Qadariyah, justru sebaliknya. Manusia justru punya kehendak bebas. Otonomi kehendak itu, juga Tuhan yang memberikan. Tuhan hanya menentukan atau membuat sistem sunnatullah (hukum sebab akibat). Lalu di pentas sistem sunatullah itulah setiap manusia memainkan perannya dengan bebas. Kehendak dan perbuatan siapa yang selaras dengan sunnatullah tersebut, akan mendapatkan akibat atau hasil yang sepadan. Sepanjang sebab sebab segala sesuatu terpenuhi secara presisi, maka hasil yang sepadan otomatis juga akan didapat. Begitu juga sebaliknya. Sepanjang sebab sebab segala sesuatu belum terpenuhi secara tuntas, maka tak kan pernah terjadi akibat yang sepadan.

Dengan cara itulah sifat keadilan Tuhan menjadi klop. Yang berbuat keliru tak kan mendapatkan apa-apa, dan yang berbuat dengan tepat akan mendapatkan hasil yang diinginkan. Yang bersikap dan bertindak sembrono akan mendapatkan kesusahan sedang yang bersikap dan bertindak bijaksana akan mendapatkan kemudahan dan keselamatan. Yang berbuat baik akan mendapatkan pahala dan yang berbuat dosa akan mendapatkan hukuman. Apa yang didapatkan dan dialami manusia sepanjang hidupnya, bukan datang dari Tuhan. Bukan sesuatu yang given (pemberian). Tapi adalah akibat dari rangkaian perbuatan manusia itu sendiri dari waktu ke waktu. Efek berantai dari pilihan bebas manusia itu sendiri.

Intinya dengan cara itulah hukum dan sistem keadilan Tuhan menjadi tegak dengan sempurna.

Kedua paham itu, punya hujjah yang sama-sama meyakinkan sesuai sudut pandang mereka masing-masing. Kaum Jabariyah bertumpu pada keutuhan wujud, sifat dan perbuatan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tunggal. Sedang kaum Qadariyah bertumpu pada sifat keadilan Tuhan.

Tapi bila keduanya disandingkan, maka serentak keduanya juga sama sama tak meyakinkan secara penuh. Pada paham Jabariyah, tak ada tempat untuk apa yang disebut dengan keadilan. Karena manusia tidak punya pilihan apapun. Tuhan adalah Raja Diraja yang tak bisa ditawar dengan logika keadilan yang bersifat manusiawi. Tuhan adalah pusat segala ukuran yang bersifat Teosentris.

Sebaliknya pada paham Qadariyah, keutuhan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tunggal, menjadi cacat. Otonomi Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kuasa, Maha Memaksa dan Maha Berwenang, menjadi hilang. Karena apa yang disebut adil, mesti selaras dengan apa yang bisa dipahami manusia dengan logika kemanusiaan. Intinya Tuhan ditawar sebagai Dzat yang harus bertoleransi dengan sudut pandang dan harapan manusia yang bersifat humanistik.

Dosis lanjut dari paham Qadariyah inilah yang kemudian memicu lahirnya paham Muktazillah, dimana akal dan rasionalitas menjadi ukuran yang sangat dominan. Wahyu atau teks-teks agama, hanya menjadi landasan pacu untuk nalar bisa menari bebas untuk memahami Tuhan dan sistem keagamaan dengan segala derivasinya. Singkatnya akal menjadi hakim tertinggi dari wahyu. Dalilnya, Tuhan tak mungkin tak bisa dinalar. Dan agama, tak mungkin tidak masuk akal. Intinya apapun yang ingin diklaim sebagai kebenaran, mesti masuk akal. Harus rasional. Jika tidak, maka sesuatu itu adalah sebuah keleliruan atau kesalahan berpikir. Karena itu harus diluruskan oleh terang nalar.

Lalu disisi lain, juga muncul paham yang ingin mendamaikan paham Jabariyah dan Qadariyah secara seimbang. Itulah yang dikenal dengan paham Asy'ariyah, yang kemudian dianut sebagai Teologi resmi kaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Inti paham ini, meskipun Tuhan itu Maha Kuasa tapi sekaligus Dia juga Maha Adil. Meskipun Tuhan itu Maha Murka tapi sekaligus Tuhan itu juga Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Intinya Tuhan tidak bisa dipahami hanya secara monolitik. Itu sama artinya dengan melihat segala sesuatu dengan sebelah mata. Yang terlihat, hanya penampakkan yang timpang. Artinya Tuhan itu memang perkawinan berbagai sifat yang paradoks. Sepintas berbagai sifat Tuhan itu memang terlihat berlawanan dengan sifat yang menjadi pasangannya. Tapi bila dipahami sesuai konteksnya yang tepat, maka berbagai sifat Tuhan yang terlihat berlawanan itu justru sebuah harmoni yang menakjubkan. Singkatnya meskipun Tuhan itu otonom dengan segala sifatNya, tapi sekaligus juga memberikan rahmat yang toleran untuk manusia sebagai hambaNya.

Tapi meskipun paham ini terkesan lebih sedap dari Jabariyah dan Qadariyah, tapi bila terus dikejar sampai ke akarnya, yang ditemukan juga tetap berbagai ambigiutas yang sulit didamaikan. Sebagai contoh bagaimana mungkin bisa mendamaikan kemutlakan kehendak dan perbuatan Tuhan dengan adanya kehendak bebas pada manusia. Yang namanya Maha Mutlak, tentu tak ada tempat untuk sesuatu yang lain bisa mengurangi kemutlakannya. Sedikit saja sebuah kemutlakan bisa dirampas, itu sama artinya dengan kemutlakan itu menjadi tiada.  

Karena itu kemudian juga muncul paham yang bernama Maturidiyah. Secara prinsipil inti pandangannya sama persis dengan paham Asy'ariyah. Yang berbeda hanya soal tekanan komposisi antara wahyu dan akal. Jika Asy'ariyah menempatkan keduanya secara seimbang, maka pada Maturidiyah peranan wahyu lebih utama dibanding akal. Akal hanya boleh masuk, sepanjang tidak berlawanan dengan wahyu. Kasarnya posisi akal hanya sebagai penjelas cadangan. Jika sebuah ayat dalam Al Quran maupun hadist sudah terang maksudnya, maka akal tidak diperlukan lagi. Tapi jika sebuah nash agak sulit dipahami, maka akal boleh menakwilkannya agar jadi mudah dipahami. Tapi jika akal tetap tak mampu menjelaskannya, maka cukuplah berpegang pada nash nash sebagaimana adanya. Akal tidak boleh memaksa sebagai penjelasan yang meyakinkan.  

Paham Maturidiyah ini juga menjadi varian Teologinya kaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Inti dari semua dinamika petualangan tersebut bagi saya tetap tidak menjawab tuntas perkelahian antara takdir Tuhan dengan ikhtiar manusia. Satu satunya cara untuk meredakan ketegangan itu bagi saya adalah kembali saja pada Al Quran. Tapi setelah ditelusuri, tetap saja tidak ada jawaban cespleng. Karena ayat-ayat terkait dengan masalah itu, tetap bisa mendukung keduanya. Bahwa Tuhan Maha Mutlak dengan takdirnya iya dan sekaligus bahwa manusia bisa memilih perbuatannya juga iya. Artinya ayat-ayat dalam Al Quran yang menguatkan keduanya sama sama ada. Yang mendukung paham Jabariyah ada dan yang mendukung paham Qadariyah pun juga sama-sama ada. Bahkan kumpulan sifat sifat Tuhan dalam asmaul husna pun, isinya tetap berbagai sifat Tuhan yang satu sama lainnya paradoks atau saling berlawanan.

Akhirnya yang bisa saya lakukan, hanya menyerah pasrah pada Tuhan. Bahkan semakin menguatkan keyakinan saya, bahwa akal memang tak mampu memahami segala sesuatu sampai tuntas. Sejauh jauh berpikir, ujungnya tetap membentur tanda tanya besar. Apalagi untuk memahami Tuhan. Karena itu juga kini yang saya peluk sebagai satu satunya hakim terakhir yang meyakinkan, adalah laduni. Ilmu yang langsung dari Tuhan. Apa yang diilhamkan Tuhan kedalam hati manusia, maka itulah yang lebih menyelamatkan ketimbang menempuh hidup (iman) berdasarkan hasil utak atik penalaran. Karena penalaran itu selera nafsu manusia yang mencetuskannya. Sedang ilham, kilatan inspirasi, atau  denyut suara hati, adalah bisikan yang datang langsung dari Tuhan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...