Meyakini hanya salah satu secara ekstrem kedua pilihan tersebut,
efeknya sangat berlawanan. Itu yang terjadi pada paham Jabariyah dan Qadariyah
dalam sejarah Teologi Islam.
Kaum Jabariyah meyakini bahwa kenyataan hidup adalah salinan penuh dari takdir
Tuhan. Apapun yang terjadi, semuanya murni hanya ejawantah dari kehendak dan
perbuatan Tuhan. Realitas adalah manifestasi mutlak dari skenario Tuhan sejak
azalinya. Manusia, tak punya pilihan apapun. Kehendak dan perbuatan manusia, pada
hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari aliran kehendak dan perbuatan Tuhan dibalik
layar. Karena itu tak ada yang namanya kehendak bebas (free will). Bahkan
totalitas kehidupan dengan segala isinya, juga demikian. Singkat kata, apapun
yang terjadi, adalah tajali (penampakkan) dari kehendak dan perbuatan Tuhan.
Dengan cara itulah, keesaan dan kesucian Tuhan menjadi
terjaga tanpa celah sedikit pun. Itu yang dimaksud dengan Tauhid, yaitu mengesakan
Tuhan secara kaffah. Itu artinya, manusia pada hakikatnya adalah fana. Sebuah ketiadaan
murni. Tidak punya apa-apa. Tidak wujud, tidak bisa berkehendak dan tidak bisa berbuat
apapun. Kalau pun terlihat manusia itu ada, lalu punya keinginan dan berbuat
apapun, sesungguhnya semua itu hanya pinjaman dari Tuhan. Ibaratnya manusia
hanya pipa kosong tempat belalu lalangnya wujud, kehendak dan perbuatan Tuhan. Manusia menjadi ada hanya karena diadakan oleh
Tuhan. Manusia bisa jadi berkehendak dan berbuat karena dikehendaki dan
digerakkan oleh Tuhan. Intinya manusia itu dengan segala derivasinya hanya
bayang bayang Tuhan.
Umumnya kaum Sufi, ahli zuhud atau penempuh jalan makrifat, juga menganut paham
seperti ini.
Tapi bagi kaum Qadariyah, justru sebaliknya. Manusia justru punya
kehendak bebas. Otonomi kehendak itu, juga Tuhan yang memberikan. Tuhan hanya
menentukan atau membuat sistem sunnatullah (hukum sebab akibat). Lalu di pentas
sistem sunatullah itulah setiap manusia memainkan perannya dengan bebas. Kehendak
dan perbuatan siapa yang selaras dengan sunnatullah tersebut, akan mendapatkan
akibat atau hasil yang sepadan. Sepanjang sebab sebab segala sesuatu terpenuhi
secara presisi, maka hasil yang sepadan otomatis juga akan didapat. Begitu juga
sebaliknya. Sepanjang sebab sebab segala sesuatu belum terpenuhi secara tuntas,
maka tak kan pernah terjadi akibat yang sepadan.
Dengan cara itulah sifat keadilan Tuhan menjadi klop. Yang berbuat
keliru tak kan mendapatkan apa-apa, dan yang berbuat dengan tepat akan
mendapatkan hasil yang diinginkan. Yang bersikap dan bertindak sembrono akan
mendapatkan kesusahan sedang yang bersikap dan bertindak bijaksana akan
mendapatkan kemudahan dan keselamatan. Yang berbuat baik akan mendapatkan
pahala dan yang berbuat dosa akan mendapatkan hukuman. Apa yang didapatkan dan
dialami manusia sepanjang hidupnya, bukan datang dari Tuhan. Bukan sesuatu yang
given (pemberian). Tapi adalah akibat dari rangkaian perbuatan manusia itu
sendiri dari waktu ke waktu. Efek berantai dari pilihan bebas manusia itu
sendiri.
Intinya dengan cara itulah hukum dan sistem keadilan Tuhan
menjadi tegak dengan sempurna.
Kedua paham itu, punya hujjah yang sama-sama meyakinkan
sesuai sudut pandang mereka masing-masing. Kaum Jabariyah bertumpu pada keutuhan
wujud, sifat dan perbuatan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tunggal. Sedang kaum
Qadariyah bertumpu pada sifat keadilan Tuhan.
Tapi bila keduanya disandingkan, maka serentak keduanya juga
sama sama tak meyakinkan secara penuh. Pada paham Jabariyah, tak ada tempat
untuk apa yang disebut dengan keadilan. Karena manusia tidak punya pilihan apapun.
Tuhan adalah Raja Diraja yang tak bisa ditawar dengan logika keadilan yang
bersifat manusiawi. Tuhan adalah pusat segala ukuran yang bersifat Teosentris.
Sebaliknya pada paham Qadariyah, keutuhan Tuhan sebagai Dzat
yang Maha Tunggal, menjadi cacat. Otonomi Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kuasa,
Maha Memaksa dan Maha Berwenang, menjadi hilang. Karena apa yang disebut adil,
mesti selaras dengan apa yang bisa dipahami manusia dengan logika kemanusiaan. Intinya
Tuhan ditawar sebagai Dzat yang harus bertoleransi dengan sudut pandang dan
harapan manusia yang bersifat humanistik.
Dosis lanjut dari paham Qadariyah inilah yang kemudian memicu
lahirnya paham Muktazillah, dimana akal dan rasionalitas menjadi ukuran yang
sangat dominan. Wahyu atau teks-teks agama, hanya menjadi landasan pacu untuk
nalar bisa menari bebas untuk memahami Tuhan dan sistem keagamaan dengan segala
derivasinya. Singkatnya akal menjadi hakim tertinggi dari wahyu. Dalilnya,
Tuhan tak mungkin tak bisa dinalar. Dan agama, tak mungkin tidak masuk akal.
Intinya apapun yang ingin diklaim sebagai kebenaran, mesti masuk akal. Harus
rasional. Jika tidak, maka sesuatu itu adalah sebuah keleliruan atau kesalahan
berpikir. Karena itu harus diluruskan oleh terang nalar.
Lalu disisi lain, juga muncul paham yang ingin mendamaikan paham
Jabariyah dan Qadariyah secara seimbang. Itulah yang dikenal dengan paham Asy'ariyah, yang kemudian dianut sebagai Teologi resmi kaum Ahlus Sunnah
Wal Jamaah.
Inti paham ini, meskipun Tuhan itu
Maha Kuasa tapi sekaligus Dia juga Maha Adil. Meskipun Tuhan itu Maha Murka
tapi sekaligus Tuhan itu juga Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Intinya Tuhan tidak bisa dipahami hanya secara monolitik. Itu
sama artinya dengan melihat segala sesuatu dengan sebelah mata. Yang terlihat, hanya
penampakkan yang timpang. Artinya Tuhan itu memang perkawinan berbagai sifat
yang paradoks. Sepintas berbagai sifat Tuhan itu memang terlihat berlawanan
dengan sifat yang menjadi pasangannya. Tapi bila dipahami sesuai konteksnya
yang tepat, maka berbagai sifat Tuhan yang terlihat berlawanan itu justru sebuah
harmoni yang menakjubkan. Singkatnya meskipun Tuhan itu otonom dengan segala
sifatNya, tapi sekaligus juga memberikan rahmat yang toleran untuk manusia sebagai
hambaNya.
Tapi meskipun paham ini terkesan lebih sedap dari Jabariyah
dan Qadariyah, tapi bila terus dikejar sampai ke akarnya, yang ditemukan juga
tetap berbagai ambigiutas yang sulit didamaikan. Sebagai contoh bagaimana
mungkin bisa mendamaikan kemutlakan kehendak dan perbuatan Tuhan dengan adanya
kehendak bebas pada manusia. Yang namanya Maha Mutlak, tentu tak ada tempat
untuk sesuatu yang lain bisa mengurangi kemutlakannya. Sedikit saja sebuah
kemutlakan bisa dirampas, itu sama artinya dengan kemutlakan itu menjadi tiada.
Karena itu kemudian juga muncul paham yang bernama
Maturidiyah. Secara prinsipil inti pandangannya sama persis dengan paham Asy'ariyah. Yang berbeda hanya soal tekanan komposisi antara wahyu dan
akal. Jika Asy'ariyah menempatkan keduanya secara seimbang, maka pada Maturidiyah
peranan wahyu lebih utama dibanding akal. Akal hanya boleh masuk, sepanjang
tidak berlawanan dengan wahyu. Kasarnya posisi akal hanya sebagai penjelas cadangan.
Jika sebuah ayat dalam Al Quran maupun hadist sudah terang maksudnya, maka akal
tidak diperlukan lagi. Tapi jika sebuah nash agak sulit dipahami, maka akal boleh
menakwilkannya agar jadi mudah dipahami. Tapi jika akal tetap tak mampu
menjelaskannya, maka cukuplah berpegang pada nash nash sebagaimana adanya. Akal
tidak boleh memaksa sebagai penjelasan yang meyakinkan.
Paham Maturidiyah ini juga menjadi varian Teologinya kaum
Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Inti dari semua dinamika petualangan tersebut bagi saya tetap
tidak menjawab tuntas perkelahian antara takdir Tuhan dengan ikhtiar manusia. Satu
satunya cara untuk meredakan ketegangan itu bagi saya adalah kembali saja pada
Al Quran. Tapi setelah ditelusuri, tetap saja tidak ada jawaban cespleng.
Karena ayat-ayat terkait dengan masalah itu, tetap bisa mendukung keduanya.
Bahwa Tuhan Maha Mutlak dengan takdirnya iya dan sekaligus bahwa manusia bisa
memilih perbuatannya juga iya. Artinya ayat-ayat dalam Al Quran yang menguatkan
keduanya sama sama ada. Yang mendukung paham Jabariyah ada dan yang mendukung
paham Qadariyah pun juga sama-sama ada. Bahkan kumpulan sifat sifat Tuhan dalam
asmaul husna pun, isinya tetap berbagai sifat Tuhan yang satu sama lainnya
paradoks atau saling berlawanan.
Akhirnya yang bisa saya lakukan, hanya menyerah pasrah pada Tuhan. Bahkan semakin menguatkan keyakinan saya, bahwa akal memang tak mampu memahami segala sesuatu sampai tuntas. Sejauh jauh berpikir, ujungnya tetap membentur tanda tanya besar. Apalagi untuk memahami Tuhan. Karena itu juga kini yang saya peluk sebagai satu satunya hakim terakhir yang meyakinkan, adalah laduni. Ilmu yang langsung dari Tuhan. Apa yang diilhamkan Tuhan kedalam hati manusia, maka itulah yang lebih menyelamatkan ketimbang menempuh hidup (iman) berdasarkan hasil utak atik penalaran. Karena penalaran itu selera nafsu manusia yang mencetuskannya. Sedang ilham, kilatan inspirasi, atau denyut suara hati, adalah bisikan yang datang langsung dari Tuhan.
Komentar
Posting Komentar