Yang dimaksud emosi sederhananya adalah luapan perasaan
sentimentil. Bisa dalam bentuk sikap sinis, ngambeg, marah, bahkan mengamuk.
Sedang yang dimaksud dengan ego adalah, rasa harga diri yang tak bisa ditawar.
Begitu sakit rasanya bila harga diri itu disnggung apalagi direndahkan orang. Bahkan
meskipun orang tidak sengaja meremehkan kita, tapi karena ego kita tinggi, maka
kita sangat sensitif merasa tidak dihargai oleh orang lain. Ujung-ujungnya kita
akan bereaksi secara emosional.
Sebenarnya emosi dan ego itu bahan dasarnya sama, yaitu hawa nafsu. Sebuah
entitas abstrak yang selalu melekat dalam diri kita, dari lahir sampai kita
mati. Ekspresi hawa nafsu itu sangat banyak. Mulai dari rasa iri, dengki,
hasut, ambisius, rakus, boros, bersenang-senang, bermegah-megah diri, pamer,
bangga diri, mudah tersinggung, marah, dan seterusnya.
Semakin kuat semua itu menguasai diri kita, maka akan
semakin dirantai diri kita dari sifat-sifat yang baik. Semakin hati kita dipenjara
oleh sifat-sifat buruk. Dan justru semua itulah yang akan membuat hati kita
jadi mati. Hati yang mati maksudnya, hati yang terdinding dari kebenaran. Hati
yang buta dan tuli terhadap Tuhan.
Tapi mengendalikan semua itu, sangat tidak mudah. Sehebat
apapun kita, selalu beberapa unsur emosi itu menguasai diri kita. Bahkan orang
yang sudah sengaja menempa kepribadiannya, atau orang yang sudah menempuh jalan
iman (hidup di jalan Tuhan) pun, tetap bersusah payah untuk menjinakkannya.
Sepandai-pandai Tupai melompat, sesekali dia akan tetap jatuh juga.
Kejatuhan Adam dari Sorga,
Adalah bukti betapa sulitnya mengendalikan emosi atau hawa nafsu itu. Adam mendekat
Pohon Khuldi lalu memakan buahnya, adalah
karena godaan hawa nafsunya sendiri. Dia ingin hidup kekal di sorga. Padahal sebelumnya
Tuhan sudah wanti-wanti agar dia jangan sampai mendekati Pohon itu. Tapi karena
dia begitu bernafsu ingin hidup kekal di Sorga, akhirnya dia terjebak juga melanggar
larangan Tuhan.
Begitu juga dengan saya.
Meskipun hampir setahun saya sudah hidup di jalan Tuhan, dimana saya sudah
sadar bahwa emosi atau hawa nafsu itu sangat berbahaya, tapi saya tetap masih
bersusah payah mengendalikannya. Meskipun secara zahir saya nyaris sudah bisa
menahan diri dari sifat-sifat tercela, tapi secara bathin, hati saya diam-diam
masih menggerutu dan membenci akan banyak hal pada orang lain. Dan sesekali diluar
kendali saya, emosi terpendam itu akhirnya meluber juga keluar. Misalnya saya
jadi berlaku sinis dan marah marah pada isteri dan anak saya. Walaupun
sesudahnya saya selalu menyesal dan minta ampun pada Tuhan. Begitulah
seterusnya. Selalu itu terjadi selang sekian waktu.
Lalu bisakah emosi atau hawa nafsu itu benar benar jinak secara permanen? Dan
mampukah manusia mencapai kondisi seperti itu?
Jawabannya tentu saja bisa. Tapi bukan karena kemampuan manusia itu sendiri.
Karena hakikatnya manusia tidak punya daya dan kekuatan apapun terhadap dirinya
sendiri. Itu hanya bisa terjadi jika manusia ditolong oleh Tuhan.
"Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan,
kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Yusuf : 53)
Bahwa manusia harus selalu merendahkan diri dihadapan Tuhan. Dan selalu menyandarkan harapannya pada Tuhan. Berharap akan kemurahan Tuhan. Karena segala usaha yang dilakukan manusia, meskipun itu untuk kebaikan sekalipun, tetap semua perjuangan itu tidak bisa menjamin. Yang bisa menjamin, akhirnya tetap hanya pertolongan atau restu dari Tuhan.
Komentar
Posting Komentar