Jika setelah mendekatkan diri bahkan taat pada Allah kita
merasa tambah menderita, baik menderita secara zahir oleh berbagai kesusahan,
maupun menderita secara bathin, maka itu bukti bahwa iman kita bermasalah. Bermasalah
karena yang diimani salah sasaran dan tujuan melakukannya juga salah niat.
Iman dan niat salah sasaran maksudnya adalah, yang dituju dalam
hati kita bukan Tuhan. Tapi selain Tuhan. Misalnya tujuan kita mendekatkan diri
atau beribadah pada Tuhan adalah untuk terhindar dari berbagai kesulitan hidup,
ingin mendapatkan rezeki, ingin sembuh dari penyakit, ingin mendapat kehormatan
dari orang lain, ingin bebas dari tanggung jawab, maupun ingin terhindar dari azab
neraka dan mendapatkan sorga.
Itu artinya kita mendekatkan diri pada Tuhan dan taat
beribadah hanya untuk memuaskan selera hawa nafsu kita. Isinya tidak lebih dari
mengincar kepentingan kita sendiri. Motivasi kita ada udang dibalik bakwan
alias kita tidak ikhlas. Bahkan hanya sekedar ingin mendapatkan kelezatan iman
atau ibadah tanpa semua itu pun, hakikatnya itu juga termasuk tidak ikhlas. Tetap
harapan seperti itu kategori ingin memuaskan hawa nafsu. Yaitu nafsu untuk
mendapatkan rasa nyaman atau kelezatan secara spiritual.
Itulah yang membuat kita menderita. Bentuk penderitaan itu
bisa 2 jenis. Bisa merasa menderita karena kita kecewa disebabkan apa yang kita
impikan belum juga didapat. Dan bisa juga karena Tuhan justru menguji kita
lewat semua harapan itu. Apa yang kita elu-elukan, justru itu yang dijadikan
Tuhan sebagai jebakannya. Semakin kita berambisi dengan semua itu, maka semakin
Tuhan akan mempermainkan kita dengan semua yang kita idam-idamkan tersebut.
Misalnya diawal mendekatkan diri pada Tuhan, semua itu dikabulkan Tuhan. Lalu
kita merasa senang dengan semua itu. Tapi begitu waktu berselang, Tuhan akan
menghilangkannya lagi dari kita seperti sebelumnya. Maka kita pun akan kembali merasa
kecewa dan tersiksa. Bahkan bisa lebih parah dari sebelumnya. Begitulah cara
Tuhan merajam kita.
Intinya Tuhan mendidik kita secara tidak langsung, bahwa selagi yang kita tuju,
yang kita impikan dan kita elu-elukan bukan Tuhan itu sendiri, maka kita akan
tetap dibuat Tuhan terombang-ambing dalam siksaan.
Tapi jika kita sudah bisa melepaskan semua itu dari hati,
alias memang sudah ikhlas full pada Tuhan, maka baru beban mental, kegelisahan
dan siksaan bathin itu akan dihilangkan Tuhan dari diri kita. Baru Tuhan akan
membuat apapapun yang kita alami, tidak lagi memberi bekas alias tidak
berpengaruh lagi pada diri kita. Jika
itu berupa kemudahan, hati kita tidak akan melonjak kegirangan lagi karenanya.
Dan jika itu berupa cobaan, hati kita juga tidak akan merasa tersiksa lagi karenanya.
Karena kita sudah rela atau ridho dengan apapun yang diberikan Tuhan untuk
kita. Yang kita lihat dibalik kedua hal yang berlawanan itu, adalah Tuhan sebagai
Dzat yang mendatangkannya. Kita tidak berhenti hanya pada apa yang terlihat dan
dirasakan secara zahir. Tapi tembus ke relung semua itu.
“Bagaimana
mungkin hamba akan menolak, tidak bersabar sekaligus tidak akan bersyukur atas
semua ini? Toh ini juga dari Engkau ya Allah. Hamba rela dan tetap bersyukur dengan
semua ini. Apapun yang terjadi, cukuplah Engkau saja bagiku”
Itulah yang dimaksud dengan kondisi qalbu yang sudah tidak
ada rasa takut dan sedih hati. Tuhan akan mengeluarkan kita dari dualisme suasana
hati. Kita akan dibebaskan dari rasa suka tidak suka, dari rasa sedih dan
gembira, dari rasa cinta dan benci pada apapun selain Tuhan. Hati kita menjadi
tawar atau biasa saja terhadap apapun. Karena sudah disadari dengan haqqul
yakin, bahwa apapun yang kita alami, pada hakikatnya semua itu adalah rahmat
Tuhan juga. Semuanya adalah haq. Tidak ada yang bathil. Apapun yang diberikan
Tuhan tak pernah ada cacatnya. Mata hati kita akan dibuka Tuhan untuk mampu
melihat, bahwa segala kehendak dan perbuatan Tuhan itu Maha Sempurna. Efeknya,
yang dirasakan oleh hati kita hanya rasa ridho pada Tuhan. Tak terbetik lagi
untuk minta apapun. Jika diberi kemudahan, itu dirasakan sebagai rahmat Tuhan
untuk menambah rasa syukur. Dan jika diberi kesusahan, maka itu juga dirasakan
sebagai rahmat terbalik untuk mempertebal rasa sabar dan rasa rela pada Tuhan.
Itu sebabnya rasa ridho itu adalah bentuk ahwal atau suasana hati tertinggi
dalam iman. Karena rasa ridho itulah yang melahirkan kelapangan atau
kebahagiaan hakiki di hati manusia. Sebaliknya keinginan, harapan dan ambisi akan
apapun, adalah penjara yang menyiksa bathin manusia.
Intinya niat yang lurus dalam mendekatkan diri dan taat pada
Tuhan, adalah niat hanya ingin menghamba atau mengabdikan diri pada Tuhan.
Tanpa syarat dan pamrih apapun didalamnya. Tanpa berharap ganti rugi apapun
dibalik semua itu. Soal Tuhan akan memberi kelapangan atau tidak terhadap kita
karena semua itu, itu adalah bonus. Tapi bukan itu yang diincar saat
mendekatkan
diri atau beribadah pada Tuhan.
Maka pada hamba-hambaNya yang demikianlah Tuhan jadi ridho. Jika Tuhan sudah
ridho pada seorang hamba, maka lengkaplah sudah kelezatan dan kebahagiaan
dirinya. Mau diberi kemudahan dan kelimpahan, atau mau diberi cobaan, rasanya
akan tetap sama. Karena hatinya sudah dibutakan Tuhan terhadap apapun selain
DiriNya.
Tapi semua itu baru akan bisa terjadi, jika gejolak hawa nafsu dalam diri manusia sudah padam. Selagi hawa nafsu dalam dirinya masih menyala, maka nikmat kelapangan itu tak kan pernah terjadi. Manusia akan tetap hidup dalam penjara bathin yang sangat menyiksa. Disiksa oleh berbagai hasrat dan impian yang dielu-elukannya.
Komentar
Posting Komentar