Langsung ke konten utama

Semakin Mendekat dan Taat Pada Allah Kok Semakin Menderita?

Jika setelah mendekatkan diri bahkan taat pada Allah kita merasa tambah menderita, baik menderita secara zahir oleh berbagai kesusahan, maupun menderita secara bathin, maka itu bukti bahwa iman kita bermasalah. Bermasalah karena yang diimani salah sasaran dan tujuan melakukannya juga salah niat.

Iman dan niat salah sasaran maksudnya adalah, yang dituju dalam hati kita bukan Tuhan. Tapi selain Tuhan. Misalnya tujuan kita mendekatkan diri atau beribadah pada Tuhan adalah untuk terhindar dari berbagai kesulitan hidup, ingin mendapatkan rezeki, ingin sembuh dari penyakit, ingin mendapat kehormatan dari orang lain, ingin bebas dari tanggung jawab, maupun ingin terhindar dari azab neraka dan mendapatkan sorga.

Itu artinya kita mendekatkan diri pada Tuhan dan taat beribadah hanya untuk memuaskan selera hawa nafsu kita. Isinya tidak lebih dari mengincar kepentingan kita sendiri. Motivasi kita ada udang dibalik bakwan alias kita tidak ikhlas. Bahkan hanya sekedar ingin mendapatkan kelezatan iman atau ibadah tanpa semua itu pun, hakikatnya itu juga termasuk tidak ikhlas. Tetap harapan seperti itu kategori ingin memuaskan hawa nafsu. Yaitu nafsu untuk mendapatkan rasa nyaman atau kelezatan secara spiritual.

Itulah yang membuat kita menderita. Bentuk penderitaan itu bisa 2 jenis. Bisa merasa menderita karena kita kecewa disebabkan apa yang kita impikan belum juga didapat. Dan bisa juga karena Tuhan justru menguji kita lewat semua harapan itu. Apa yang kita elu-elukan, justru itu yang dijadikan Tuhan sebagai jebakannya. Semakin kita berambisi dengan semua itu, maka semakin Tuhan akan mempermainkan kita dengan semua yang kita idam-idamkan tersebut. Misalnya diawal mendekatkan diri pada Tuhan, semua itu dikabulkan Tuhan. Lalu kita merasa senang dengan semua itu. Tapi begitu waktu berselang, Tuhan akan menghilangkannya lagi dari kita seperti sebelumnya. Maka kita pun akan kembali merasa kecewa dan tersiksa. Bahkan bisa lebih parah dari sebelumnya. Begitulah cara Tuhan merajam kita.

Intinya Tuhan mendidik kita secara tidak langsung, bahwa selagi yang kita tuju, yang kita impikan dan kita elu-elukan bukan Tuhan itu sendiri, maka kita akan tetap dibuat Tuhan terombang-ambing dalam siksaan.  

Tapi jika kita sudah bisa melepaskan semua itu dari hati, alias memang sudah ikhlas full pada Tuhan, maka baru beban mental, kegelisahan dan siksaan bathin itu akan dihilangkan Tuhan dari diri kita. Baru Tuhan akan membuat apapapun yang kita alami, tidak lagi memberi bekas alias tidak berpengaruh lagi  pada diri kita. Jika itu berupa kemudahan, hati kita tidak akan melonjak kegirangan lagi karenanya. Dan jika itu berupa cobaan, hati kita juga tidak akan merasa tersiksa lagi karenanya. Karena kita sudah rela atau ridho dengan apapun yang diberikan Tuhan untuk kita. Yang kita lihat dibalik kedua hal yang berlawanan itu, adalah Tuhan sebagai Dzat yang mendatangkannya. Kita tidak berhenti hanya pada apa yang terlihat dan dirasakan secara zahir. Tapi tembus ke relung semua itu.  

“Bagaimana mungkin hamba akan menolak, tidak bersabar sekaligus tidak akan bersyukur atas semua ini? Toh ini juga dari Engkau ya Allah. Hamba rela dan tetap bersyukur dengan semua ini. Apapun yang terjadi, cukuplah Engkau saja bagiku”

Itulah yang dimaksud dengan kondisi qalbu yang sudah tidak ada rasa takut dan sedih hati. Tuhan akan mengeluarkan kita dari dualisme suasana hati. Kita akan dibebaskan dari rasa suka tidak suka, dari rasa sedih dan gembira, dari rasa cinta dan benci pada apapun selain Tuhan. Hati kita menjadi tawar atau biasa saja terhadap apapun. Karena sudah disadari dengan haqqul yakin, bahwa apapun yang kita alami, pada hakikatnya semua itu adalah rahmat Tuhan juga. Semuanya adalah haq. Tidak ada yang bathil. Apapun yang diberikan Tuhan tak pernah ada cacatnya. Mata hati kita akan dibuka Tuhan untuk mampu melihat, bahwa segala kehendak dan perbuatan Tuhan itu Maha Sempurna. Efeknya, yang dirasakan oleh hati kita hanya rasa ridho pada Tuhan. Tak terbetik lagi untuk minta apapun. Jika diberi kemudahan, itu dirasakan sebagai rahmat Tuhan untuk menambah rasa syukur. Dan jika diberi kesusahan, maka itu juga dirasakan sebagai rahmat terbalik untuk mempertebal rasa sabar dan rasa rela pada Tuhan.

Itu sebabnya rasa ridho itu adalah bentuk ahwal atau suasana hati tertinggi dalam iman. Karena rasa ridho itulah yang melahirkan kelapangan atau kebahagiaan hakiki di hati manusia. Sebaliknya keinginan, harapan dan ambisi akan apapun, adalah penjara yang menyiksa bathin manusia.

Intinya niat yang lurus dalam mendekatkan diri dan taat pada Tuhan, adalah niat hanya ingin menghamba atau mengabdikan diri pada Tuhan. Tanpa syarat dan pamrih apapun didalamnya. Tanpa berharap ganti rugi apapun dibalik semua itu. Soal Tuhan akan memberi kelapangan atau tidak terhadap kita karena semua itu, itu adalah bonus. Tapi bukan itu yang diincar saat mendekatkan diri atau beribadah pada Tuhan.  

Maka pada hamba-hambaNya yang demikianlah Tuhan jadi ridho. Jika Tuhan sudah ridho pada seorang hamba, maka lengkaplah sudah kelezatan dan kebahagiaan dirinya. Mau diberi kemudahan dan kelimpahan, atau mau diberi cobaan, rasanya akan tetap sama. Karena hatinya sudah dibutakan Tuhan terhadap apapun selain DiriNya.

Tapi semua itu baru akan bisa terjadi, jika gejolak hawa nafsu dalam diri manusia sudah padam. Selagi hawa nafsu dalam dirinya masih menyala, maka nikmat kelapangan itu tak kan pernah terjadi. Manusia akan tetap hidup dalam penjara bathin yang sangat menyiksa. Disiksa oleh berbagai hasrat dan impian yang dielu-elukannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...