Segala sesuatu ada sebabnya. Kita menjadi ada di dunia ini,
disebabkan karena dilahirkan oleh ibu kita. Kita menjadi kenyang, disebabkan karena
kita makan. Kita menjadi sehat setelah sakit, karena kita berobat. Kita menjadi
dapat uang, karena kita berusaha. Kita menjadi sedih, karena ada hal yang
membuat kita kecewa. Kita menjadi bahagia, karena semua harapan kita tercapai. Dan
seterusnya.
Itulah yang dimaksud dengan hukum sebab akibat. Tanpa adanya sebuah sebab, tak
kan mungkin terjadinya sebuah akibat. Begitu juga sebaliknya. Apapun yang
terjadi dengan diri kita dan hidup ini, kita yakini ada rangkaian sebab yang
tiada putusnya dibelakangnya. Baik sebab itu bersifat fisik material, maupun yang
bersifat non fisik immaterial.
Lalu dimana posisi Tuhan?
Disadari atau tidak, biasanya Tuhan menjadi hilang dalam kesadaran kita. Karena
tak ada lagi celah Tuhan bisa masuk dalam peristiwa apapun dalam hidup ini.
Karena semuanya sudah disumbat oleh rangkaian sebab akibat berantai dari awal
sampai akhir. Jika kita belum tahu sebab suatu kejadian atau apapun yang kita
alami, maka kita akan bersikukuh mencari penyebabnya. Karena kita sudah yakin
pasti ada penyebabnya. Dan yang menjadi sebab itu, kita yakini selalu bersifat
alamiah.
Walaupun kita tetap mengaku beriman akan adanya Tuhan, tapi itu
hanya sekedar memori yang menggantung di angan-angan. Karena faktanya yang kita
rasakan Tuhan itu tidak punya peranan apapun dalam hidup kita secara kongkrit. Tuhan
hanya sekedar nama atau kata. Hanya sekedar hafalan atau teori. Itu artinya
hakikatnya kita sebenarnya belum punya iman. Kita sebenarnya atheis. Kita hanya
sekedar ngaku-ngaku telah bertuhan, atau menghayal sudah yakin akan adanya Tuhan,
tapi kesadaran kita faktanya bersifat atheistik. Karena rasanya Tuhan tidak pernah
hadir dan ikut campur dalam setiap inchi kedirian dan pengalaman hidup kita.
Itulah yang menyebabkan hati kita diperas dan dipenjara oleh
hawa nafsu. Karena apapun yang kita alami, kita anggap bukan disebabkan oleh
Tuhan. Tapi oleh apapun yang bersifat alamiah. Akibatnya kita akan selalu
kecewa dan sakit hati setiap mendapat kesusahan. Lalu menyalahkan apa yang
menjadi penyebabnya. Sebaliknya kita akan merasa senang setiap mendapat
kemudahan. Lalu memuja-muja apa yang menjadi penyebabnya. Baik yang kita
salahkan maupun yang kita puji dan puja, bukanlah Tuhan. Tapi adalah apapun
selain Tuhan. Bisa dalam bentuk seseorang, bisa diri kita sendiri, dan bisa juga
keadaan demi keadaan. Intinya dibalik setiap kejadian itu refleks kita yakini penyebabnya
bukan Tuhan.
Itulah yang mendiding kita dari Tuhan. Itulah yang jadi
tabir hati kita tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan. Karena akibat keyakinan
kita pada hukum sebab akibat yang bersifat alamiah begitu pekat. Setiap yang
terjadi, hanya kita lihat dengan mata zahir. Sedang mata hati kita, buta. Kita tidak
bisa berfikir dan membayangkan, bahwa setiap kejadian itu, justru Tuhanlah yang
membuat itu terjadi. Tuhanlah yang mentakdirkannya dibalik layar.
Jika kita sudah meyakini bahwa apapun yang terjadi adalah
atas kehendak atau takdir Tuhan, maka keyakinan kita pada hukum sebab akibat
alamiah, biasanya akan memudar. Kita akan maklum dengan sendirinya. Tak ada
yang bisa ditolak dan dicela. Karena toh semua itu adalah kehendak dari Dzat
Yang Maha Kuasa. Semua itu adalah perbuatan Tuhan. Meskipun secara zahir tampak
oleh mata kita adalah rangkaian peristiwa yang bersifat alamiah. Jadi kita
sebagai manusia bisa apa selain hanya rela atau ridho. Setuju tidak setuju, suka
tidak suka, tak ada pilihan selain hanya pasrah. Pasrah atas setiap kehendak
dan takdir Tuhan.
Itulah yang membedakan penglihatan mata zahir (ainul basyariah) dengan penglihatan mata hati (ainul basyirah). Mata zahir, hanya sanggup melihat apa yang bisa diindera. Tapi tak sanggup melihat rahasia dibalik segala sesuatu yang terindera tersebut. Sedang mata hati, justru sebaliknya. Tak sanggup melihat yang zahir. Tapi hanya bisa melihat yang bathin. Melihat dibalik segala sesuatu yang tampak oleh mata kepala.
Rumus sederhananya,
Semakin menyala mata zahir, maka semakin padam mata hati. Begitu juga
sebaliknya. Semakin terang mata hati, maka semakin gelap mata zahir. Mata zahir
itu hanya sanggup melihat hukum sebab akibat. Sedang mata hati hanya sanggup
melihat Tuhan dengan segala sifat dan perbuatanNya.
Dengan rumus itu,
Kita bisa audit diri kita dengan mudah. Apakah level iman atau makrifat kita
pada Tuhan sudah ada atau belum. Sudah seberapa dalam atau seberapa dangkal.
Jika yang terlihat atau yang kita rasakan setiap melihat dan mengalami sesuatu berhenti
pada hal-hal yang bersifat zahir, maka itu artinya kita belum beriman pada
Tuhan. Apalagi sudah makrifat. Jauh panggang dari api.
Tapi jika setiap melihat apapun, atau apapun yang kita alami dalam hidup ini
sudah kita sadari itu adalah penampakkan dari sifat dan perbuatan Tuhan, maka
itu artinya kita sudah beriman atau makrifat pada Tuhan. Yang kita lihat bukan
lagi peristiwanya sebagaimana adanya. Tapi sudah berganti dengan melihat dan
merasakan bayang bayang dari perbuatan Tuhan.
Tapi itu yang sulit.
Apalagi bagi saya saat ini. Setiap mendengar mulut cerewet isteri
saya sendiri, saya refleks merasa jengkel. Padahal jika saat mendengarnya saya
sadar bahwa kecerewetannya itu adalah atas kehendak Tuhan dibalik layar, tentu
saya akan bisa memakluminya. Tentu saya akan menghayati itu sebagai ujian
kesabaran dari Tuhan. Tuhan lagi menempa diri saya lewat mulut isteri saya
sendiri.
Jika saya berhasil melewatinya, maka Tuhan akan ridho atas
respon sikap saya. Efeknya hati saya akan tetap tenang bahkan merasa lapang. Rasa
lapang itulah sorga bathin yang diberikan Tuhan untuk saya di dunia ini. Tapi
jika saya gagal, maka hati saya akan merasa jengkel, marah dan benci, maka dada
saya akan terasa panas. Maka rasa panas itu adalah simbol dari diri saya sedang
dilempar Tuhan ke neraka di dunia ini. Hati saya merasa terbakar oleh mulut
isteri saya sendiri.
Pertanyaannya,
Bisakah saya berhasil atau akan selalu berhasil setiap menghadapi kecerewetan
isteri saya? Jika bisa, apa triknya?
Nah bertanya seperti itu adalah jebakan. Perangkap yang menjebak kita agar
kembali beriman pada hukum sebab akibat. Jika saya melakukan ini itu, maka saya
akan mendapatkan hasilnya begini begitu. Jika saya bereaksi begini begitu, maka
isteri saya akan meresponnya begini begitu. Nah Tuhan kembali lagi kehilangan
peran. Berganti dengan diri saya yang berperan. Dan hasil yang didapat, juga
bukan karena Tuhan. Tapi karena perbuatan saya yang begini begitu.
Karena itu solusinya adalah,
Apapun yang saya alami, apakah respon saya jengkel atau sabar, maka semua itu
juga harus diyakini sebagai kehendak dari Tuhan. Tuhan dibalik layar memang
menghendaki atau mentakdirkan diri saya bereaksi seperti itu. Tuhan saat itu
memang sedang menempatkan diri saya di posisi itu. Jadi saya tetap tidak bisa
menolaknya. Tetap harus saya terima semua itu. Perasaan saya yang kesal dan
benci itu, juga harus saya yakini sebagai kehendak atau takdir dari Tuhan. Saya
juga harus ridho dengan perasaan saya yang seperti itu. Karena perasaan saya
yang seperti itu, juga bukan atas kehendak diri saya sendiri. Bukan saya yang
mau seperti itu. Bukan saya yang membuat diri saya seperti itu. Tapi adalah,
disetir oleh Tuhan. Saya hanya robot pasif yang tak bisa apa-apa. Lalu Tuhanlah
yang berbuat sekehendakNya atas diri saya.
Itulah yang dimaksud dengan: “Manusia tidak bisa membuat
mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri”. Atau lagi: “Tiada daya dan
kekuatan apapun kecuali hanya dengan Allah”.
Itu
artinya kita tak perlu lagi mencari sebab atas apapun yang terjadi terhadap
diri kita atau kejadian apapun diluar diri kita. Tak perlu lagi sibuk dan
krasak krusuk memikirkan kenapa kita jadi begini dan kenapa jadi begitu. Tuhanlah
penyebab dibalik semua itu. Semua dari Tuhan, oleh Tuhan dan akhirnya juga kembali
pada Tuhan.
Artinya manusia itu adalah nol habis. Tidak ada apa-apanya
dan tidak bisa apa-apa. Dirinya hanya pipa kosong tempat berlalu lalangnya aliran
kehendak dan takdir Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan kondisi fana. Telah
meniadakan diri dari segala seginya. Dan itu juga yang dimaksud dengan mati
sebelum mati. Mematikan segala kemampuan dan keberadaan diri. Yang ada hanya
Tuhan dan yang bisa berbuat apapun atas dirinya juga hanya Tuhan.
Ketika itu sudah dirasakan, maka itulah yang disebut dengan sudah makrifat.
Sudah kenal dan bertemu dengan Tuhan. Matinya keakuan diri lalu sudah berganti
dengan keAkuan Tuhan dalam diri kita.
Apakah itu mudah?
Kalau mudah, tentu itu sudah terjadi pada diri saya. Tapi faktnya semua itu
masih jauh panggang dari api terhadap diri saya. Disini saya baru sekedar berteori.
Belum sebuah pengalaman yang sudah terjadi.
Komentar
Posting Komentar