Langsung ke konten utama

Hukum Sebab Akibat: Dinding dan Jebakan di Jalan Makrifat

Segala sesuatu ada sebabnya. Kita menjadi ada di dunia ini, disebabkan karena dilahirkan oleh ibu kita. Kita menjadi kenyang, disebabkan karena kita makan. Kita menjadi sehat setelah sakit, karena kita berobat. Kita menjadi dapat uang, karena kita berusaha. Kita menjadi sedih, karena ada hal yang membuat kita kecewa. Kita menjadi bahagia, karena semua harapan kita tercapai. Dan seterusnya.

Itulah yang dimaksud dengan hukum sebab akibat. Tanpa adanya sebuah sebab, tak kan mungkin terjadinya sebuah akibat. Begitu juga sebaliknya. Apapun yang terjadi dengan diri kita dan hidup ini, kita yakini ada rangkaian sebab yang tiada putusnya dibelakangnya. Baik sebab itu bersifat fisik material, maupun yang bersifat non fisik immaterial.

Lalu dimana posisi Tuhan?
Disadari atau tidak, biasanya Tuhan menjadi hilang dalam kesadaran kita. Karena tak ada lagi celah Tuhan bisa masuk dalam peristiwa apapun dalam hidup ini. Karena semuanya sudah disumbat oleh rangkaian sebab akibat berantai dari awal sampai akhir. Jika kita belum tahu sebab suatu kejadian atau apapun yang kita alami, maka kita akan bersikukuh mencari penyebabnya. Karena kita sudah yakin pasti ada penyebabnya. Dan yang menjadi sebab itu, kita yakini selalu bersifat alamiah.

Walaupun kita tetap mengaku beriman akan adanya Tuhan, tapi itu hanya sekedar memori yang menggantung di angan-angan. Karena faktanya yang kita rasakan Tuhan itu tidak punya peranan apapun dalam hidup kita secara kongkrit. Tuhan hanya sekedar nama atau kata. Hanya sekedar hafalan atau teori. Itu artinya hakikatnya kita sebenarnya belum punya iman. Kita sebenarnya atheis. Kita hanya sekedar ngaku-ngaku telah bertuhan, atau menghayal sudah yakin akan adanya Tuhan, tapi kesadaran kita faktanya bersifat atheistik. Karena rasanya Tuhan tidak pernah hadir dan ikut campur dalam setiap inchi kedirian dan pengalaman hidup kita.

Itulah yang menyebabkan hati kita diperas dan dipenjara oleh hawa nafsu. Karena apapun yang kita alami, kita anggap bukan disebabkan oleh Tuhan. Tapi oleh apapun yang bersifat alamiah. Akibatnya kita akan selalu kecewa dan sakit hati setiap mendapat kesusahan. Lalu menyalahkan apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya kita akan merasa senang setiap mendapat kemudahan. Lalu memuja-muja apa yang menjadi penyebabnya. Baik yang kita salahkan maupun yang kita puji dan puja, bukanlah Tuhan. Tapi adalah apapun selain Tuhan. Bisa dalam bentuk seseorang, bisa diri kita sendiri, dan bisa juga keadaan demi keadaan. Intinya dibalik setiap kejadian itu refleks kita yakini penyebabnya bukan Tuhan. 

Itulah yang mendiding kita dari Tuhan. Itulah yang jadi tabir hati kita tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan. Karena akibat keyakinan kita pada hukum sebab akibat yang bersifat alamiah begitu pekat. Setiap yang terjadi, hanya kita lihat dengan mata zahir. Sedang mata hati kita, buta. Kita tidak bisa berfikir dan membayangkan, bahwa setiap kejadian itu, justru Tuhanlah yang membuat itu terjadi. Tuhanlah yang mentakdirkannya dibalik layar.

Jika kita sudah meyakini bahwa apapun yang terjadi adalah atas kehendak atau takdir Tuhan, maka keyakinan kita pada hukum sebab akibat alamiah, biasanya akan memudar. Kita akan maklum dengan sendirinya. Tak ada yang bisa ditolak dan dicela. Karena toh semua itu adalah kehendak dari Dzat Yang Maha Kuasa. Semua itu adalah perbuatan Tuhan. Meskipun secara zahir tampak oleh mata kita adalah rangkaian peristiwa yang bersifat alamiah. Jadi kita sebagai manusia bisa apa selain hanya rela atau ridho. Setuju tidak setuju, suka tidak suka, tak ada pilihan selain hanya pasrah. Pasrah atas setiap kehendak dan takdir Tuhan.

Itulah yang membedakan penglihatan mata zahir (ainul basyariah) dengan penglihatan mata hati (ainul basyirah). Mata zahir, hanya sanggup melihat apa yang bisa diindera. Tapi tak sanggup melihat rahasia dibalik segala sesuatu yang terindera tersebut. Sedang mata hati, justru sebaliknya. Tak sanggup melihat yang zahir. Tapi hanya bisa melihat yang bathin. Melihat dibalik segala sesuatu yang tampak oleh mata kepala.

Rumus sederhananya,
Semakin menyala mata zahir, maka semakin padam mata hati. Begitu juga sebaliknya. Semakin terang mata hati, maka semakin gelap mata zahir. Mata zahir itu hanya sanggup melihat hukum sebab akibat. Sedang mata hati hanya sanggup melihat Tuhan dengan segala sifat dan perbuatanNya.

Dengan rumus itu,
Kita bisa audit diri kita dengan mudah. Apakah level iman atau makrifat kita pada Tuhan sudah ada atau belum. Sudah seberapa dalam atau seberapa dangkal. Jika yang terlihat atau yang kita rasakan setiap melihat dan mengalami sesuatu berhenti pada hal-hal yang bersifat zahir, maka itu artinya kita belum beriman pada Tuhan. Apalagi sudah makrifat. Jauh panggang dari api.

Tapi jika setiap melihat apapun, atau apapun yang kita alami dalam hidup ini sudah kita sadari itu adalah penampakkan dari sifat dan perbuatan Tuhan, maka itu artinya kita sudah beriman atau makrifat pada Tuhan. Yang kita lihat bukan lagi peristiwanya sebagaimana adanya. Tapi sudah berganti dengan melihat dan merasakan bayang bayang dari perbuatan Tuhan.

Tapi itu yang sulit.
Apalagi bagi saya saat ini. Setiap mendengar mulut cerewet isteri saya sendiri, saya refleks merasa jengkel. Padahal jika saat mendengarnya saya sadar bahwa kecerewetannya itu adalah atas kehendak Tuhan dibalik layar, tentu saya akan bisa memakluminya. Tentu saya akan menghayati itu sebagai ujian kesabaran dari Tuhan. Tuhan lagi menempa diri saya lewat mulut isteri saya sendiri.

Jika saya berhasil melewatinya, maka Tuhan akan ridho atas respon sikap saya. Efeknya hati saya akan tetap tenang bahkan merasa lapang. Rasa lapang itulah sorga bathin yang diberikan Tuhan untuk saya di dunia ini. Tapi jika saya gagal, maka hati saya akan merasa jengkel, marah dan benci, maka dada saya akan terasa panas. Maka rasa panas itu adalah simbol dari diri saya sedang dilempar Tuhan ke neraka di dunia ini. Hati saya merasa terbakar oleh mulut isteri saya sendiri.

Pertanyaannya,
Bisakah saya berhasil atau akan selalu berhasil setiap menghadapi kecerewetan isteri saya? Jika bisa, apa triknya?


Nah bertanya seperti itu adalah jebakan. Perangkap yang menjebak kita agar kembali beriman pada hukum sebab akibat. Jika saya melakukan ini itu, maka saya akan mendapatkan hasilnya begini begitu. Jika saya bereaksi begini begitu, maka isteri saya akan meresponnya begini begitu. Nah Tuhan kembali lagi kehilangan peran. Berganti dengan diri saya yang berperan. Dan hasil yang didapat, juga bukan karena Tuhan. Tapi karena perbuatan saya yang begini begitu.

Karena itu solusinya adalah,
Apapun yang saya alami, apakah respon saya jengkel atau sabar, maka semua itu juga harus diyakini sebagai kehendak dari Tuhan. Tuhan dibalik layar memang menghendaki atau mentakdirkan diri saya bereaksi seperti itu. Tuhan saat itu memang sedang menempatkan diri saya di posisi itu. Jadi saya tetap tidak bisa menolaknya. Tetap harus saya terima semua itu. Perasaan saya yang kesal dan benci itu, juga harus saya yakini sebagai kehendak atau takdir dari Tuhan. Saya juga harus ridho dengan perasaan saya yang seperti itu. Karena perasaan saya yang seperti itu, juga bukan atas kehendak diri saya sendiri. Bukan saya yang mau seperti itu. Bukan saya yang membuat diri saya seperti itu. Tapi adalah, disetir oleh Tuhan. Saya hanya robot pasif yang tak bisa apa-apa. Lalu Tuhanlah yang berbuat sekehendakNya atas diri saya.

Itulah yang dimaksud dengan: “Manusia tidak bisa membuat mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri”. Atau lagi: “Tiada daya dan kekuatan apapun kecuali hanya dengan Allah”.

Itu artinya kita tak perlu lagi mencari sebab atas apapun yang terjadi terhadap diri kita atau kejadian apapun diluar diri kita. Tak perlu lagi sibuk dan krasak krusuk memikirkan kenapa kita jadi begini dan kenapa jadi begitu. Tuhanlah penyebab dibalik semua itu. Semua dari Tuhan, oleh Tuhan dan akhirnya juga kembali pada Tuhan.

Artinya manusia itu adalah nol habis. Tidak ada apa-apanya dan tidak bisa apa-apa. Dirinya hanya pipa kosong tempat berlalu lalangnya aliran kehendak dan takdir Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan kondisi fana. Telah meniadakan diri dari segala seginya. Dan itu juga yang dimaksud dengan mati sebelum mati. Mematikan segala kemampuan dan keberadaan diri. Yang ada hanya Tuhan dan yang bisa berbuat apapun atas dirinya juga hanya Tuhan.

Ketika itu sudah dirasakan, maka itulah yang disebut dengan sudah makrifat. Sudah kenal dan bertemu dengan Tuhan. Matinya keakuan diri lalu sudah berganti dengan keAkuan Tuhan dalam diri kita.

Apakah itu mudah?
Kalau mudah, tentu itu sudah terjadi pada diri saya. Tapi faktnya semua itu masih jauh panggang dari api terhadap diri saya. Disini saya baru sekedar berteori. Belum sebuah pengalaman yang sudah terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...