Langsung ke konten utama

Dekonstruksi Makrifat: Kunci Tauhid dan Bahagia Tak Sengaja

 

Ini saya tulis berdasarkan renungan dan pengalaman bathin saya sendiri, yang selalu jatuh bangun memeluk sebuah pemahaman tentang Tuhan, diri saya dan kejadian apapun dalam hidup saya.

Setiap saya dicekam oleh perasaan sedih, galau, gelisah tak menentu, sakit memendam kebencian dalam hati, maka refleks saya yakini semua itu terjadi akibat dosa dan kesalahan saya sendiri. Lalu saya minta ampun pada Tuhan sekaligus memohon agar Tuhan berkenan mengeluarkan saya dari perasaan seperti itu. Begitulah selalu reaksi spontan saya tanpa berpikir.

Tapi ketika saya sudah tenang, lalu sudah bisa berpikir atau merenungkan tentang kehendak dan takdir Tuhan, maka baru saya tersadar. Apapun yang terjadi pada diri saya, hakikatnya bukanlah atas kemauan dan perbuatan saya sendiri. Tapi Tuhanlah yang menyetir saya menjadi seperti itu. Saya hanya efek dari kehendak dan takdir Tuhan dibalik layar. Kelihatannya saja saya yang punya kemauan dan perbuatan. Itu karena saya melihatnya secara zahir. Tapi bila saya renungkan , hakikatnya saya hanya robot pasif yang diremoot tiada henti oleh Tuhan.

"Ternyata benar, manusia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Manusia itu tidak bisa membuat mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri.” Itulah arti dari “Tiada daya dan kekuatan apapun pada diri saya dan siapapun, kecuali hanya karena Tuhan.” Artinya nanusia memang hanya robot pasif yang dikendalikan oleh Tuhan.

Apalagi bila saya berpikir tentang sifat Jaiz Tuhan, dimana Tuhan adalah Dzat yang Maha Berwenang, maka cara kerja terjadinya segala sesuatu, jadi percuma saya pikirkan.  Sejauh jauh saya berpikir dan membayangkan, bahwa sistem (algoritma) segala sesuatu adalah begini begitu, termasuk Tuhan adalah begini begitu, atau lagi pola hubungan Tuhan dengan manusia adalah begini begitu, maka semua itu tak lebih dari onani pikiran yang tak berguna. Itu hanya produksi pikiran saya sendiri. Tak bisa dipeluk sebagai sebuah kepastian. Akan tetap gugur dengan sendirinya bila dihubungkan dengan sifat jaiz Tuhan. Karena Tuhanlah ukuran mutlak segala sesuatu dengan segala kehendakNya. Kasarnya, Tuhan adalah Dzat yang Maha Sewenang-wenang. Dan manusia tak bisa menolakanya.

Artinya serapi dan secanggih apapun manusia memahami dan menyusun sebuah kesimpulan, pengetahuan, pemahaman atau sistem keyakinan,  semua itu statusnya tetap hanya kumpulan dugaan. Tetap hanya sebagai kira-kira. Tak lebih hanya permainan sangka-sangka. Bisa benar dan bisa salah. Jika benar, itu hanya karena kebetulan sejalan dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Tapi yang sering terjadi justru manusia jatuh bangun dalam kekeliruan-kekeliruan yang tiada henti. Bahkan yang dirasa benar pada waktu tertentu, berubah jadi salah di kemudian hari. Begitulah seterusnya. Tak pernah ada temuan yang final. Tak pernah ditemukan kesimpulan pasti yang teruji terhadap apapun sepanjang masa. Semuanya tetap dalam petualangan bongkar pasang tiada henti.

Bagi saya itu isyarat atau bukti, bahwa manusia sebenarnya tak pernah bisa mengungkap misteri apapun sampai titik nol. Selalu ada pertanyaan besar yang menggantung: “Ada apa sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya?”

Maka disitulah manusia mesti menyerah. Tunduk dan pasrah: “Hamba ridho padaMu Tuhan. Hamba rela atas apapun yang Engkau kehendaki”.

Lalu sesudahnya, manusia cukup menyaksikan saja dengan rela apapun yang diperbuat Tuhan atas dirinya. Bagi saya itulah inti dari syahadat. Mata hati menyaksikan berlalu lalangnya aliran kehendak dan perbuatan Tuhan terhadap dirinya dan apapun.

“Hmm ... tak ada guna berharap ini itu. Itulah yang dimaksud dengan panjang angan-angan. Karena yang akan terjadi, tetap saja apa yang dikehendaki Tuhan. Bukan apa yang saya harapkan. Karena itu berharap ini itu, pada hakikatnya sama saja dengan menyiksa diri. Dan itu juga sebabnya setiap ambisi, ujungnya adalah kehancuran. Kehancuran jiwa. Hati jadi terpenjara dalam kegelisahan dan siksaan yang teramat pedih.”

Lalu apakah itu artinya manusia tidak boleh lagi berbuat apapun dalam hidupnya? Atau punya cita cita ini dan itu?

Ingin berdiam diri tanpa melakukan apapun, itu pun juga sebuah harapan. Juga termasuk kehendak hawa nafsu manusia, yaitu hasrat untuk malas. Akibatnya juga akan sama. Manusia akan tetap menderita. Sengaja tidak melakukan apapun, juga akan membuat hati manusia terlempar dalam siksaan bathin.

Karena itu jawabannya bagi saya saat ini, mengalir lentur saja mengikuti apa yang diilhamkan Tuhan kedalam hati kita. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk berbuat, ya berbuat. Sebaliknya jika Tuhan menyuruh kita untuk berdiam, ya diamlah. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk merencanakan segala sesuatu, ya rancanglah. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk tidak melakukan apapun, ya jangan dilawan. Jangan memaksakan diri untuk tetap berbuat ini itu.

Intinya ikuti saja kemana Tuhan membawa kita menari. Hidup selaras dengan aliran kehendak Tuhan. Jika menolak atau melawannya, kita akan tersiksa sendiri. Karena menolak atau melawan kehendak Tuhan itu sama artinya dengan kita ingkar pada Tuhan. Kita tak kan pernah berhasil. Sekuat apapun kita melawannya, separah itu pula kita akan berdarah-darah sendiri. Makanya jadi tersiksa. Dan siksaan itu adalah simbol dari neraka. Kobaran api yang menyala-nyala dalam dada kita. Sakitnya tiada terkira.

Lalu bagaimana cara membedakan antara kehendak kita dengan kehendak Tuhan?

Sederhananya, kehendak kita itu datang dari ambisi kita sendiri. Kita yang sengaja merencanakannya. Kita yang mendorong-dorong paksa diri kita untuk berbuat sesuatu. Sebaliknya jika itu kehendak dari Tuhan, kita ditodong secara refleks oleh sebuah kilatan inspirasi, ide dan tindakan. Kita rasanya ditarik spontan tanpa dapat melawannya. Tak ada keraguan didalamnya. Langsung tembak di tempat. Gubrak!

Lalu saat melakoninya, jangan lupa terus membathin: “Ini dariMu Tuhan. Hamba rela dan patuh saja tanpa berharap apapun dari semua ini”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...