Ini saya tulis berdasarkan renungan dan pengalaman bathin saya
sendiri, yang selalu jatuh bangun memeluk sebuah pemahaman tentang Tuhan, diri
saya dan kejadian apapun dalam hidup saya.
Setiap saya dicekam oleh perasaan sedih, galau, gelisah tak
menentu, sakit memendam kebencian dalam hati, maka refleks saya yakini semua
itu terjadi akibat dosa dan kesalahan saya sendiri. Lalu saya minta ampun pada
Tuhan sekaligus memohon agar Tuhan berkenan mengeluarkan saya dari perasaan
seperti itu. Begitulah selalu reaksi spontan saya tanpa berpikir.
Tapi ketika saya sudah tenang, lalu sudah bisa berpikir atau
merenungkan tentang kehendak dan takdir Tuhan, maka baru saya tersadar. Apapun
yang terjadi pada diri saya, hakikatnya bukanlah atas kemauan dan perbuatan
saya sendiri. Tapi Tuhanlah yang menyetir saya menjadi seperti itu. Saya hanya
efek dari kehendak dan takdir Tuhan dibalik layar. Kelihatannya saja saya yang
punya kemauan dan perbuatan. Itu karena saya melihatnya secara zahir. Tapi bila
saya renungkan , hakikatnya saya hanya robot pasif yang diremoot tiada henti
oleh Tuhan.
"Ternyata benar, manusia memang tidak bisa berbuat apa-apa.
Manusia itu tidak bisa membuat mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri.”
Itulah arti dari “Tiada daya dan kekuatan apapun pada diri saya dan siapapun,
kecuali hanya karena Tuhan.” Artinya nanusia memang hanya robot pasif yang
dikendalikan oleh Tuhan.
Apalagi bila saya berpikir tentang sifat Jaiz Tuhan, dimana Tuhan adalah Dzat
yang Maha Berwenang, maka cara kerja terjadinya segala sesuatu, jadi percuma saya
pikirkan. Sejauh jauh saya berpikir dan membayangkan,
bahwa sistem (algoritma) segala sesuatu adalah begini begitu, termasuk Tuhan
adalah begini begitu, atau lagi pola hubungan Tuhan dengan manusia adalah
begini begitu, maka semua itu tak lebih dari onani pikiran yang tak berguna. Itu
hanya produksi pikiran saya sendiri. Tak bisa dipeluk sebagai sebuah kepastian.
Akan tetap gugur dengan sendirinya bila dihubungkan dengan sifat jaiz Tuhan. Karena
Tuhanlah ukuran mutlak segala sesuatu dengan segala kehendakNya. Kasarnya,
Tuhan adalah Dzat yang Maha Sewenang-wenang. Dan manusia tak bisa menolakanya.
Artinya serapi dan secanggih apapun manusia memahami dan menyusun
sebuah kesimpulan, pengetahuan, pemahaman atau sistem keyakinan, semua itu statusnya tetap hanya kumpulan dugaan.
Tetap hanya sebagai kira-kira. Tak lebih hanya permainan sangka-sangka. Bisa
benar dan bisa salah. Jika benar, itu hanya karena kebetulan sejalan dengan apa
yang dikehendaki Tuhan. Tapi yang sering terjadi justru manusia jatuh bangun
dalam kekeliruan-kekeliruan yang tiada henti. Bahkan yang dirasa benar pada
waktu tertentu, berubah jadi salah di kemudian hari. Begitulah seterusnya. Tak
pernah ada temuan yang final. Tak pernah ditemukan kesimpulan pasti yang teruji
terhadap apapun sepanjang masa. Semuanya tetap dalam petualangan bongkar pasang
tiada henti.
Bagi saya itu isyarat atau bukti, bahwa manusia sebenarnya
tak pernah bisa mengungkap misteri apapun sampai titik nol. Selalu ada
pertanyaan besar yang menggantung: “Ada apa sebenarnya dan bagaimana cara
kerjanya?”
Maka disitulah manusia mesti menyerah. Tunduk dan pasrah: “Hamba ridho padaMu
Tuhan. Hamba rela atas apapun yang Engkau kehendaki”.
Lalu sesudahnya, manusia cukup menyaksikan saja dengan rela
apapun yang diperbuat Tuhan atas dirinya. Bagi saya itulah inti dari syahadat. Mata
hati menyaksikan berlalu lalangnya aliran kehendak dan perbuatan Tuhan terhadap
dirinya dan apapun.
“Hmm ... tak ada guna berharap ini itu. Itulah yang dimaksud
dengan panjang angan-angan. Karena yang akan terjadi, tetap saja apa yang
dikehendaki Tuhan. Bukan apa yang saya harapkan. Karena itu berharap ini itu,
pada hakikatnya sama saja dengan menyiksa diri. Dan itu juga sebabnya setiap
ambisi, ujungnya adalah kehancuran. Kehancuran jiwa. Hati jadi terpenjara dalam
kegelisahan dan siksaan yang teramat pedih.”
Lalu apakah itu artinya manusia tidak boleh lagi berbuat apapun dalam hidupnya?
Atau punya cita cita ini dan itu?
Ingin berdiam diri tanpa melakukan apapun, itu pun juga
sebuah harapan. Juga termasuk kehendak hawa nafsu manusia, yaitu hasrat untuk
malas. Akibatnya juga akan sama. Manusia akan tetap menderita. Sengaja tidak
melakukan apapun, juga akan membuat hati manusia terlempar dalam siksaan bathin.
Karena itu jawabannya bagi saya saat ini, mengalir lentur saja
mengikuti apa yang diilhamkan Tuhan kedalam hati kita. Jika Tuhan memerintahkan
kita untuk berbuat, ya berbuat. Sebaliknya jika Tuhan menyuruh kita untuk
berdiam, ya diamlah. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk merencanakan segala
sesuatu, ya rancanglah. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk tidak melakukan apapun,
ya jangan dilawan. Jangan memaksakan diri untuk tetap berbuat ini itu.
Intinya ikuti saja kemana Tuhan membawa kita menari. Hidup selaras dengan
aliran kehendak Tuhan. Jika menolak atau melawannya, kita akan tersiksa
sendiri. Karena menolak atau melawan kehendak Tuhan itu sama artinya dengan kita
ingkar pada Tuhan. Kita tak kan pernah berhasil. Sekuat apapun kita melawannya,
separah itu pula kita akan berdarah-darah sendiri. Makanya jadi tersiksa. Dan
siksaan itu adalah simbol dari neraka. Kobaran api yang menyala-nyala dalam
dada kita. Sakitnya tiada terkira.
Lalu bagaimana cara membedakan antara kehendak kita dengan
kehendak Tuhan?
Sederhananya, kehendak kita itu datang dari ambisi kita sendiri. Kita yang
sengaja merencanakannya. Kita yang mendorong-dorong paksa diri kita untuk
berbuat sesuatu. Sebaliknya jika itu kehendak dari Tuhan, kita ditodong secara refleks
oleh sebuah kilatan inspirasi, ide dan tindakan. Kita rasanya ditarik spontan tanpa
dapat melawannya. Tak ada keraguan didalamnya. Langsung tembak di tempat.
Gubrak!
Lalu saat melakoninya, jangan lupa terus membathin: “Ini dariMu Tuhan. Hamba
rela dan patuh saja tanpa berharap apapun dari semua ini”
Komentar
Posting Komentar