Langsung ke konten utama

Cobaan Terberat yang Mendinding Saya dari Tuhan

 

Begitu banyak cobaan yang mendinding manusia dengan Tuhan. Apapun, bisa jadi tabir yang menutupi penglihatan bathinnya terhadap Tuhan. Walaupun secara hakikatnya, Tuhan itu tidak bisa ditutupi atau ditabiri oleh apapun. Karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Meliputi segala sesuatu. Sehingga tak ada ruang kosong dari kehadiran Tuhan kapan dan dimanapun. Tapi kesadaran manusia, sangat mudah ditutupi oleh banyak hal untuk sadar akan kehadiran Tuhan yang sangat dekat dengan dirinya.

Dan yang paling menabiri saya dari Tuhan saat saya tulis postingan ini, adalah isteri saya sendiri. Betapapun rapinya saya menjaga iman saya pada Tuhan, dengan kedalaman penghayatan yang merasuk sekalipun, tapi begitu melihat isteri saya, bahkan hanya mendengar suaranya, semua itu langsung buyar dalam seketika. Berganti dengan rasa kebencian yang tak tertahankan.

Saya benci karena pada isteri saya tak tergambar sikap-sikap iman pada Tuhan. Isi pembicaraannya, selalu mondar mandir kesana kemari. Bahkan hal hal yang sama sekali tak berguna. Mulutnya begitu cerewet. Dan saat dia bicara, tampak ekspresi kegirangan, kepedean, rasa bangga diri, atau emosi yang meluap-luap. Sama sekali tak ada sikap tawadhunya. Termasuk bahasa tubuhnya. Kentara sekali dia merasa senang bahkan bangga dengan tubuhnya. Dan merasa kepedean dengan penampilannya. Apalagi bila bereaksi terhadap apapun yang tak disukai atau dibencinya, mendadak dia marah marah seperti orang kesurupan.

Intinya saya benci isteri saya karena sosoknya tidak mencerminkan nilai nilai keimanan atau ketuhanan. Walaupun secara zahir dia rajin Sholat. Bahkan jauh sebelum saya mulai beriman, dia sudah lama rajin sholat. Tapi begitulah. Tampaknya sholatnya itu sama sekali tak membekas pada sikapnya.  Itu yang hari ini membuat hati saya jadi benci padanya. Benci karena dia tidak mengelu-elukan iman atau Tuhan dalam hidup kesehariannya.

Dulu saya klaim kebencian saya seperti itu sebagai sesuatu yang bagus. Karena dasar kebencian saya adalah iman atau Tuhan. Saya benci karena imannya pada Tuhan tak merasuk di hatinya. Tapi kini sudah saya sadari bahwa yang saya rasakan itu adalah ranjau spiritual. Jebakan nafsu saya sendiri. Yang bekerja dalam diri saya adalah, luapan selera saya sendiri. Yang saya mau, sikap dan prilakunya harus sesuai dengan apa yang saya harapakan, yaitu tawadhu pada Tuhan. Nah itulah gejolak hawa nafsu saya. Diam-diam saya terlalu bernafsu agar isteri saya mestinya begitu.

Bukti bahwa yang saya rasakan itu adalah ranjau spiritual, saat saya merasakan itu, hati saya jadi lupa pada Tuhan. Teorinya saja saya membencinya karena Tuhan. Tapi yang saya rasakan, saya dibakar kebencian yang meluap-luap. Hati saya jadi gelisah dan tersiksa. Hawa bathin saya terasa panas. Itu hakikatnya adalah kata lain diri saya lagi terlempar kedalam gejolak api. Neraka bathin yang sangat nyata di dunia.

Padahal jika saya tidak digulung oleh hawa nafsu saya sendiri, mestinya saya bisa memaklumi dia seperti itu dengan sejuk dan tenang. Karena dia sendiri pada hakikatnya juga tak punya kekuatan untuk dirinya sendiri. Bahkan apa dan siapapun, tiada daya dan kekuatan apapun kecuali hanya oleh daya dan kekuatan Tuhan. Artinya siapapun, tak bisa memberi manfaat dan mudharat untuk dirinya sendiri. Tapi hanya Tuhanlah yang bisa melakukan itu. Dengan kata lain, apapun yang terjadi pada setiap orang, pada hakikatnya adalah juga kehendak Tuhan dibalik layar. Manusia hanya objek pasif dari kehendak dan perbuatan Tuhan.

Jika kesadaran seperti itu tetap terpasang di hati saya setiap melihat dan mendengar suara isteri saya, tentu respon bathin saya tidak akan bergejolak. Tentu saya akan maklum, bahwa sosok isteri saya itu hakikatnya adalah pancaran dari sifat Jalalnya Tuhan juga. Tajali (penampakkan) dari dimensi kegagahannya Tuhan. Bukan sisi Jamal atau dimensi keindahan Tuhan. Jadi saya tetap harus memakluminya. Saya tidak boleh pilih kasih dengan setiap tajali Tuhan. Yang baik dan yang buruk yang dipancarkan Tuhan pada apa dan siapapun, tetap harus saya ridhoi. Menolak apalagi membencinya, sama artinya dengan saya sedang membenci kehendak dan perbuatan Tuhan.

Tapi itulah yang hingga kini belum terjadi pada diri saya. Saya belum sampai pada level bisa memaklumi atau meridhoi setiap apapun yang terlihat buruk. Khususnya dalam kasus ini terhadap sikap dan prilaku isteri saya sendiri. Setelah peristiwanya berlalu, alias saat merenung, baru sikap seperti itu bisa saya pasang dalam hati. Tapi saat berhadapan langsung dengan kejadiannya, kesadaran seperti itu hilang entah kemana.

Pengalaman seperti itu,
Membuat saya semakin yakin, bahwa pada hakikatnya, manusia memang tidak punya daya dan kekuatan apapun untuk dirinya sendiri. Walaupun itu untuk menjadi orang yang baik atau untuk menjadi orang yang beriman secara kaffah. Tetap itu baru akan terjadi jika ditolong oleh Tuhan. Bukan karena hasil usaha sendiri. Sekuat dan serapi apapun manusia berusaha ini itu, tanpa dapat pertolongan dari Tuhan, tetap tidak akan bisa alias hanya akan sia-sia. Disitulah pentingnya selalu berharap pada kemurahan Tuhan. Manusia tak boleh mengandalkan segala amal (usaha) yang dia lakukan. Karena kunci terakhirnya, tetap ditangan Tuhan. Bukan ditentukan oleh apapun yang telah dilakukan manusia. Walaupun disisi lain, manusia tetap harus berusaha, sebagai bukti bahwa dirinya memang ingin menjadi hamba yang baik dimata Tuhan.    

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...