Begitu banyak cobaan yang mendinding manusia dengan Tuhan.
Apapun, bisa jadi tabir yang menutupi penglihatan bathinnya terhadap
Tuhan. Walaupun secara hakikatnya, Tuhan itu tidak bisa ditutupi atau ditabiri
oleh apapun. Karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Meliputi segala sesuatu.
Sehingga tak ada ruang kosong dari kehadiran Tuhan kapan dan dimanapun. Tapi
kesadaran manusia, sangat mudah ditutupi oleh banyak hal untuk sadar akan
kehadiran Tuhan yang sangat dekat dengan dirinya.
Dan yang paling menabiri saya dari Tuhan saat saya tulis postingan ini, adalah isteri
saya sendiri. Betapapun rapinya saya menjaga iman saya pada Tuhan, dengan
kedalaman penghayatan yang merasuk sekalipun, tapi begitu melihat isteri saya,
bahkan hanya mendengar suaranya, semua itu langsung buyar dalam seketika.
Berganti dengan rasa kebencian yang tak tertahankan.
Saya benci karena pada isteri saya tak tergambar sikap-sikap
iman pada Tuhan. Isi pembicaraannya, selalu mondar mandir kesana kemari. Bahkan
hal hal yang sama sekali tak berguna. Mulutnya begitu cerewet. Dan saat dia bicara,
tampak ekspresi kegirangan, kepedean, rasa bangga diri, atau emosi yang
meluap-luap. Sama sekali tak ada sikap tawadhunya. Termasuk bahasa tubuhnya.
Kentara sekali dia merasa senang bahkan bangga dengan tubuhnya. Dan merasa
kepedean dengan penampilannya. Apalagi bila bereaksi terhadap apapun yang tak
disukai atau dibencinya, mendadak dia marah marah seperti orang kesurupan.
Intinya saya benci isteri saya karena sosoknya tidak mencerminkan
nilai nilai keimanan atau ketuhanan. Walaupun secara zahir dia rajin Sholat. Bahkan
jauh sebelum saya mulai beriman, dia sudah lama rajin sholat. Tapi begitulah. Tampaknya
sholatnya itu sama sekali tak membekas pada sikapnya. Itu yang hari ini membuat hati saya jadi benci
padanya. Benci karena dia tidak mengelu-elukan iman atau Tuhan dalam hidup
kesehariannya.
Dulu saya klaim kebencian saya seperti itu sebagai sesuatu
yang bagus. Karena dasar kebencian saya adalah iman atau Tuhan. Saya benci
karena imannya pada Tuhan tak merasuk di hatinya. Tapi kini sudah saya sadari bahwa
yang saya rasakan itu adalah ranjau spiritual. Jebakan nafsu saya sendiri. Yang
bekerja dalam diri saya adalah, luapan selera saya sendiri. Yang saya mau, sikap
dan prilakunya harus sesuai dengan apa yang saya harapakan, yaitu tawadhu pada
Tuhan. Nah itulah gejolak hawa nafsu saya. Diam-diam saya terlalu bernafsu agar
isteri saya mestinya begitu.
Bukti bahwa yang saya rasakan itu adalah ranjau spiritual, saat
saya merasakan itu, hati saya jadi lupa pada Tuhan. Teorinya saja saya membencinya
karena Tuhan. Tapi yang saya rasakan, saya dibakar kebencian yang meluap-luap. Hati
saya jadi gelisah dan tersiksa. Hawa bathin saya terasa panas. Itu hakikatnya adalah
kata lain diri saya lagi terlempar kedalam gejolak api. Neraka bathin yang
sangat nyata di dunia.
Padahal jika saya tidak digulung oleh hawa nafsu saya
sendiri, mestinya saya bisa memaklumi dia seperti itu dengan sejuk dan tenang.
Karena dia sendiri pada hakikatnya juga tak punya kekuatan untuk dirinya
sendiri. Bahkan apa dan siapapun, tiada daya dan kekuatan apapun kecuali hanya oleh
daya dan kekuatan Tuhan. Artinya siapapun, tak bisa memberi manfaat dan
mudharat untuk dirinya sendiri. Tapi hanya Tuhanlah yang bisa melakukan itu.
Dengan kata lain, apapun yang terjadi pada setiap orang, pada hakikatnya adalah
juga kehendak Tuhan dibalik layar. Manusia hanya objek pasif dari kehendak dan
perbuatan Tuhan.
Jika
kesadaran seperti itu tetap terpasang di hati saya setiap melihat dan mendengar
suara isteri saya, tentu respon bathin saya tidak akan bergejolak. Tentu saya
akan maklum, bahwa sosok isteri saya itu hakikatnya adalah pancaran dari sifat
Jalalnya Tuhan juga. Tajali (penampakkan) dari dimensi kegagahannya Tuhan. Bukan
sisi Jamal atau dimensi keindahan Tuhan. Jadi saya tetap harus memakluminya.
Saya tidak boleh pilih kasih dengan setiap tajali Tuhan. Yang baik dan yang
buruk yang dipancarkan Tuhan pada apa dan siapapun, tetap harus saya ridhoi. Menolak
apalagi membencinya, sama artinya dengan saya sedang membenci kehendak dan
perbuatan Tuhan.
Tapi itulah yang hingga kini belum terjadi pada diri saya. Saya belum sampai
pada level bisa memaklumi atau meridhoi setiap apapun yang terlihat buruk.
Khususnya dalam kasus ini terhadap sikap dan prilaku isteri saya sendiri. Setelah
peristiwanya berlalu, alias saat merenung, baru sikap seperti itu bisa saya
pasang dalam hati. Tapi saat berhadapan langsung dengan kejadiannya, kesadaran
seperti itu hilang entah kemana.
Pengalaman seperti itu,
Membuat saya semakin yakin, bahwa pada hakikatnya, manusia memang tidak punya
daya dan kekuatan apapun untuk dirinya sendiri. Walaupun itu untuk menjadi
orang yang baik atau untuk menjadi orang yang beriman secara kaffah. Tetap itu
baru akan terjadi jika ditolong oleh Tuhan. Bukan karena hasil usaha sendiri.
Sekuat dan serapi apapun manusia berusaha ini itu, tanpa dapat pertolongan dari
Tuhan, tetap tidak akan bisa alias hanya akan sia-sia. Disitulah pentingnya
selalu berharap pada kemurahan Tuhan. Manusia tak boleh mengandalkan segala amal
(usaha) yang dia lakukan. Karena kunci terakhirnya, tetap ditangan Tuhan. Bukan
ditentukan oleh apapun yang telah dilakukan manusia. Walaupun disisi lain,
manusia tetap harus berusaha, sebagai bukti bahwa dirinya memang ingin menjadi
hamba yang baik dimata Tuhan.
Komentar
Posting Komentar