Langsung ke konten utama

Bahaya Banyak Bicara dan Solusinya (Pengalaman Pribadi)

Banyak bicara maksudnya, kita bicara sudah melampaui kewajaran. Sudah jauh melampaui batas. Dibutuhkan 1 alinea, tapi kita ngerocos terus hingga 3 alinea bahkan lebih. Tidak ada orang yang bertanya atau orang pada diam, kita bicara sendiri tentang apapun. Yang diomongkan tidak penting, tapi kita tetap berkicau sendiri tanpa peduli orang tertarik atau tidak. Bahkan meskipun air muka orang tidak nyaman saat kita bicara, atau bahasa tubuh orang sudah gelisah, kita tetap melaju tanpa peduli.

Intinya kita seperti radio rusak yang terus brisik sendiri tiada henti. Walaupun orang sudah menyindir kita, kita tidak peka. Bahkan sudah dicegah orang secara terang-terangan, kita tetap tak peduli. Bahkan kita juga membela diri dengan berbagai dalil atau alasan. Atau justru memarahi orang yang melarang kita.

Nah kita yang seperti itu, cepat lambat akan menerima akibatnya tanpa kita sadari. Karena efek dari banyak bicara seperti itu, kita akan menjadi orang yang bebal. Tidak peka dengan berbagai situasi. Kepekaan psikologis kita terhadap orang lain akan jadi tumpul. Kita akan jadi orang bermuka tembok. Tidak tahu malu. Tanpa kita sadari kita akan jadi ceroboh, latah, sembarangan, lancang, emosional, kasar, egois, merasa benar dan mau menang sendiri.

Seganteng dan secantik apapun paras kita, atau semacho dan seseksi apapun tubuh kita, bahkan meskipun kita orang kaya dan orang berprestasi, tapi jika kita seperti itu, maka semua itu akhirnya akan tampak jelek bagi orang. Daya pikat kepribadian kita akan pudar. Kita akan tampak tidak berharga. Remeh dan sampah. Karena wajah rohani kita kusam. Tidak elok dan tidak mengundang simpati.  

Efeknya tanpa kita sadari banyak orang akhirnya akan bosan, muak, antipati bahkan bisa benci dengan kita. Baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan mengatakannya pada kita. Yang bereaksi seperti itu tidak hanya teman, tapi juga bisa orang-orang dekat kita sendiri seperti orang tua, saudara bahkan anak dan pasangan hidup kita sendiri.

Nah contoh orang yang seperti itu adalah saya sendiri. Dengan kebiasaan buruk seperti itu, justru saya merasa mantap dan merasa hebat sendiri. Padahal sudah banyak yang menyindir saya. Bahkan dengan nada sinis. Tapi saya tetap tak peduli dan tetap merasa yakin bahwa tipologi orang seperti saya ini sudah tepat bahkan mantap. Justru mereka yang tidak setuju dengan tipologi saya yang saya cap tidak beres.

Baru itu saya sadari sebagai kebiasaan buruk, ketika kemudian prilaku seperti itu juga terjadi pada isteri saya sendiri, yang sebelumnya dirinya kalem dan feminim. Saya benar benar muak dan benci setiap mendengar mulut isteri saya ngerocos terus tiada henti. Maka disaat itulah saya jadi tersadar tentang diri saya. Saat itulah jadi terbayang bagaimana membosankan dan menyebalkannya diri saya bagi banyak orang tanpa saya sadari. Saya jadi malu sendiri, bahkan merasa jijik dengan diri saya sendiri.

Sejak saat itulah saya mulai belajar hemat bicara. Dan ternyata juga tidak mudah. Karena kebiasaan itu sudah melekat lama dalam diri saya. Akibatnya jarang saya berhasil melakukannya. Misalnya diawal percakapan saya bisa mengendalikan diri. Tapi setelah percakapan berlangsung beberapa putaran, saya kembali lagi lepas kendali. Setelah usai, baru saya sadar lalu jadi sibuk menyesali diri dalam hati. Begitulah seterusnya setiap terjadi percakapan dengan siapapun.

Baru kebiasaan itu  berhasil saya atasi, setelah saya ditolong oleh Tuhan. Ditolong Tuhan maksudnya, setelah saya dapat petunjuk dari Tuhan. Setelah karena berbagai tragedi menimpa diri saya, lalu akhirnya secara tiba-tiba saya disentak oleh hidayah dari Tuhan. Jadi timbul kesadaran iman di hati saya, yang sebelumnya saya sudah belasan tahun Atheis meskipun KTP saya Islam.

Sejak saat itu,
Saya jadi enggan sendiri banyak bicara. Jika tidak terlalu penting, saya lebih memilih diam dari pada bicara. Bahkan yang saya tergerak untuk bicara, jika topiknya tentang agama, iman dan Tuhan. Lain dari itu mulut saya serasa terkunci sendiri tanpa dapat saya lawan. Walaupun diam diam saya juga sadar bahwa itu juga sudah keterlaluan. Karena jatuhnya saya sudah kategori sangat pelit bicara.

Kesimpulan saya,
Orang pendiam, memang butuh banyak latihan agar bisa berani dan lincah bicara. Tapi setelah dia lincah banyak bicara, justru dia butuh latihan lebih keras lagi untuk bisa kembali menjadi orang yang hemat bicara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...