Langsung ke konten utama

99% Cinta dan Persahabatan Menuju Kehancuran. Kenapa?

Hubungan atau persahabatan antar manusia tidak ada yang abadi. Karena dasarnya tak kan beranjak dari rasa suka tidak suka dan kepentingan. Baik terhadap teman, saudara, famili, pasangan hidup, bahkan dengan anak dan orang tua sendiri. Yang berbeda hanya soal tingkat suka tidak suka dan kepentingannya saja.

Bila rasa suka atau kepentingan sudah tidak ada, maka sebuah hubungan antar manusia akan memudar bahkan mati dengan sendirinya. Baik jika itu diekspresikan secara terang-terangan, maupun hanya disimpan secara diam-diam dalam hati.

Orang suka, senang bahkan kagum dengan kita, siapapun mereka, biasanya karena ada sebabnya. Ada sisi dari diri kita yang mereka kagumi. Jika penyebab itu tak ada lagi pada diri kita, maka mereka akan berubah jadi hambar pada kita. Bahkan bisa berbalik menjadi benci. Atau meskipun nilai lebih kita itu tidak hilang, tapi orang yang mengagumi kita itu akhirnya juga sudah memiliki kelebihan yang sama dengan kita, apalagi jika sudah melampaui diri kita, maka mereka pun akhirnya juga tidak akan suka, senang apalagi kagum lagi pada diri kita. Karena objek yang mereka elu-elukan itu juga sudah mereka miliki.

Begitu juga jika orang lain tidak membutuhkan kita lagi, maka hajatnya pada kita, juga akan luntur dengan sendirinya. Karena segala kesulitan, harapan dan nilai lebih yang ingin mereka dapatkan dari diri kita, sudah tidak ada lagi. Pengikat kepentingan mereka dengan kita sudah tidak ada.  

Apalagi jika kita pernah berbuat keliru dan salah, maka lengkaplah sudah, orang bukan hnaya tidak akan suka dan senang lagi dengan kita, tapi justru berbalik menjadi benci pada kita. Baik jika itu mereka ekspresikan secara terbuka, maupun mereka pendam secara diam-diam dalam hati.

Karena itulah berharap agar disukai atau dikagumi orang lain, apalagi untuk selamanya, adalah harapan yang sia-sia. Bahkan itu adalah sikap dan tindakan bunuh diri mental secara perlahan. Karena cepat lambat, akhirnya orang-orang yang simpati, kagum dan butuh dengan kita, satu demi satu akan pergi dari diri kita. Andaikata secara fisik mereka masih dekat bahkan masih bersama kita, tapi hati mereka sudah memblokir diri kita.

Itu fakta.
Karena memang begitulah naturnya manusia. Dari dulu sampai hari ini. Sebuah naluri alamiah yang melekat dalam diri manusia. Sebuah mesin hasrat untuk saling sikut dan saling berlomba yang tiada habis dan tiada henti.

Hanya cinta yang bisa mengatasi semua itu, ketika kesadaran manusia sudah sampai pada level kasih sayang dengan sesamanya. Hanya cinta yang bisa menerima siapapun sebagaimana adanya. Hanya cinta yang bisa memaafkan siapapun dari hati. Hanya dalam cinta apa yang disebut kesetiaan itu akan ada.

Tapi kapan itu akan bisa terjadi? Kapan dalam hati manusia itu akan ada rasa cinta?

Cinta itu anugrah. Sesuatu yang terberi. Bersifat given. Jatuh dari langit. Bukan sesuatu yang bisa dibuat oleh manusia. Manusia bisa berteori tentang cinta. Tapi rasa cinta tak kan pernah lahir dari teori apapun.

Dalam agama,
Cinta itu karunia yang bersifat illahiah. Dibersitkan Tuhan kedalam hati manusia. Untuk siapa yang Dia kehendaki. Limpahan kasih sayang Tuhan untuk diri seorang hamba. Maka siapa yang mendapatkan kemurahan Tuhan seperti itu, baru pada dirinya akan memancar kelembutan, rasa hiba, rasa peduli dan kesetiaan tanpa batas waktu. Itulah yang disebut Insan Kamil. Potret manusia sempurna. Itulah yang terjadi pada para Nabi, para Aulia dan kekasih Allah. Puncaknya, pada Nabi Muhammad. Pada dirinya, memancar beragam sifat-sifat kemuliaan Tuhan.

Intinya,
Selagi naluri primitf yang bernama suka tidak suka dan kepentingan yang bekerja dalam diri manusia, maka hubungan antar manusia cepat lambat akan tetap menuju kehancuran. Karena motor penggeraknya adalah hawa nafsu, dimana hawa nafsu itu naturnya memang begitu. Bersifat deskruktif. Rakus, egois, liar dan licik. Alur, taktik dan aksinya tak bisa ditebak dan sulit dikendalikan manusia dengan sadar. Kecuali, jika nafsu itu sudah dirahmati oleh Tuhan, maka baru dia akan jinak atau menjadi mutmainnah.

Karena itulah,
Jika manusia ingin selamat dari tipu daya nafsunya sendiri, akhirnya tak ada pilihan selain kembali pada Tuhan, sebagai Dzat Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Berharap, berlindung dan memohon pertolongan hanya pada Tuhannya.

"Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Yusuf : 53)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...