Hubungan atau persahabatan antar manusia tidak ada yang abadi. Karena
dasarnya tak kan beranjak dari rasa suka tidak suka dan kepentingan. Baik
terhadap teman, saudara, famili, pasangan hidup, bahkan dengan anak dan orang
tua sendiri. Yang berbeda hanya soal tingkat suka tidak suka dan kepentingannya
saja.
Bila rasa suka atau kepentingan sudah tidak ada, maka sebuah
hubungan antar manusia akan memudar bahkan mati dengan sendirinya. Baik jika
itu diekspresikan secara terang-terangan, maupun hanya disimpan secara
diam-diam dalam hati.
Orang suka, senang bahkan kagum dengan kita, siapapun mereka, biasanya
karena ada sebabnya. Ada sisi dari diri kita yang mereka kagumi. Jika penyebab
itu tak ada lagi pada diri kita, maka mereka akan berubah jadi hambar pada
kita. Bahkan bisa berbalik menjadi benci. Atau meskipun nilai lebih kita itu
tidak hilang, tapi orang yang mengagumi kita itu akhirnya juga sudah memiliki
kelebihan yang sama dengan kita, apalagi jika sudah melampaui diri kita, maka mereka
pun akhirnya juga tidak akan suka, senang apalagi kagum lagi pada diri kita.
Karena objek yang mereka elu-elukan itu juga sudah mereka miliki.
Begitu juga jika orang lain tidak membutuhkan kita lagi, maka
hajatnya pada kita, juga akan luntur dengan sendirinya. Karena segala
kesulitan, harapan dan nilai lebih yang ingin mereka dapatkan dari diri kita,
sudah tidak ada lagi. Pengikat kepentingan mereka dengan kita sudah tidak ada.
Apalagi jika kita pernah berbuat keliru dan salah, maka
lengkaplah sudah, orang bukan hnaya tidak akan suka dan senang lagi dengan
kita, tapi justru berbalik menjadi benci pada kita. Baik jika itu mereka
ekspresikan secara terbuka, maupun mereka pendam secara diam-diam dalam hati.
Karena itulah berharap agar disukai atau dikagumi orang lain, apalagi untuk selamanya, adalah harapan yang sia-sia. Bahkan itu adalah sikap dan tindakan bunuh diri mental secara perlahan. Karena cepat lambat, akhirnya orang-orang yang simpati, kagum dan butuh dengan kita, satu demi satu akan pergi dari diri kita. Andaikata secara fisik mereka masih dekat bahkan masih bersama kita, tapi hati mereka sudah memblokir diri kita.
Itu fakta.
Karena memang begitulah naturnya manusia. Dari dulu sampai hari
ini. Sebuah naluri alamiah yang melekat dalam diri manusia. Sebuah mesin hasrat
untuk saling sikut dan saling berlomba yang tiada habis dan tiada henti.
Hanya cinta yang bisa mengatasi semua itu, ketika kesadaran
manusia sudah sampai pada level kasih sayang dengan sesamanya. Hanya cinta yang
bisa menerima siapapun sebagaimana adanya. Hanya cinta yang bisa memaafkan siapapun
dari hati. Hanya dalam cinta apa yang disebut kesetiaan itu akan ada.
Tapi kapan itu akan bisa terjadi? Kapan dalam hati manusia itu
akan ada rasa cinta?
Cinta itu anugrah. Sesuatu yang terberi. Bersifat given. Jatuh dari langit. Bukan
sesuatu yang bisa dibuat oleh manusia. Manusia bisa berteori tentang cinta. Tapi
rasa cinta tak kan pernah lahir dari teori apapun.
Dalam agama,
Cinta itu karunia yang bersifat illahiah. Dibersitkan Tuhan kedalam hati
manusia. Untuk siapa yang Dia kehendaki. Limpahan kasih sayang Tuhan untuk diri
seorang hamba. Maka siapa yang mendapatkan kemurahan Tuhan seperti itu, baru
pada dirinya akan memancar kelembutan, rasa hiba, rasa peduli dan kesetiaan
tanpa batas waktu. Itulah yang disebut Insan Kamil. Potret manusia sempurna.
Itulah yang terjadi pada para Nabi, para Aulia dan kekasih Allah. Puncaknya,
pada Nabi Muhammad. Pada dirinya, memancar beragam sifat-sifat kemuliaan Tuhan.
Intinya,
Selagi naluri primitf yang bernama suka tidak suka dan kepentingan yang bekerja
dalam diri manusia, maka hubungan antar manusia cepat lambat akan tetap menuju
kehancuran. Karena motor penggeraknya adalah hawa nafsu, dimana hawa nafsu itu
naturnya memang begitu. Bersifat deskruktif. Rakus, egois, liar dan licik.
Alur, taktik dan aksinya tak bisa ditebak dan sulit dikendalikan manusia dengan
sadar. Kecuali, jika nafsu itu sudah dirahmati oleh Tuhan, maka baru dia akan
jinak atau menjadi mutmainnah.
Karena itulah,
Jika manusia ingin selamat dari tipu daya nafsunya sendiri, akhirnya tak ada pilihan
selain kembali pada Tuhan, sebagai Dzat Pencipta dan Pengatur segala sesuatu.
Berharap, berlindung dan memohon pertolongan hanya pada Tuhannya.
"Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Yusuf : 53)
Komentar
Posting Komentar