Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat
Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat.
Syariat
itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh
sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu
dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat
itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi
partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat
itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu
dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa
batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut.
Agama
di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara yang dilakukan
oleh tubuh. Sedang agama di level hakikat, adalah penjiwaan dari apa yang
dilakukan oleh tubuh. Atau bathinisasi yang terjadi saat melakukan semua syarat
dan rukun tersebut. Singkatnya syariat itu dimensi Islam dari agama, sedang
hakikat itu dimensi ihsan dari agama. Dimensi islam melekatnya pada zahir
sedang dimensi ihsan melekatnya pada qalbu atau hati.
Ketika
kita sholat, melakukan semua gerakan dan melafaskan bacaannya, itu baru dimensi
tubuh. Baru dimensi zahir. Baru sekedar dimensi yang terindera. Dimensi yang
terlihat dan dimensi yang terdengar. Itu yang dimaksud dengan agama di level Islam.
Tapi bagaimana itikad bathin saat melakukannya, apa yang dirasakan hati saat
melakukannya, bagaimana penjiwaan saat melakukannya, maka itu adalah dimensi
ihsan dari agama.
Karena
itulah setiap ibadah itu mengandung 2 dimensi: Zahir dan bathin. Jika hanya zahir,
maka nasibnya sama dengan rangka mobil tanpa mesin. Mobilnya tak akan bisa hidup
apalagi jalan. Sedang mesin tanpa rangka, itu mustahil. Karena yang namanya
mesin, butuh wadah. Butuh saluran.
Karena
itulah keduanya harus kawin secara serentak. Syariat dengan hakikat harus jalin
berkelindan. Hanya melakukan ibadah secara zahir, tak ada bedanya dengan olah
raga biasa. Menyebut-nyebut nama Tuhan tanpa kehadiran hati, sama artinya
dengan senam lidah. Praktek agama yang seperti itu, tak akan memberi bekas pada
kepribadian. Tak akan mengubah adab dan ahklak pelaku terhadap Tuhan dan
sesamanya. Dan sekaligus yang akan dirasa juga tidak akan ada. Hanya penat dan
malas. Pelaku tak kan mengecap manisnya iman. Tak kan pernah merasakan
kelezatan secara spiritual.
Tapi
jika hanya sebatas itikad bathin, jadi terjebak pada ngawur. Hanya mabok dengan
angan-angan sendiri. Pelaku akan madzub. Menjadi gila tak sadarkan diri.
Yang terjebak hanya pada syariat, biasanya kaum pemuja Fiqh. Wajah agama yang mereka bayangkan, adalah kumpulan hukum peradilan. Tumpukan salah benar, halal haram, pahala dosa dan sorga neraka. Mulut mereka tak pernah henti bicara tentang itu. Sibuk melakukan ritual untuk mengumpulkan pahala, dan sekaligus berbusa busa menghakimi orang dengan semua itu. Sementara sentuhan kejiwaannya, tak ada. Agama hanya jadi kalkulator dan bahan debat. Sebatas jeruji hukum ketok palu yang kering, kasar bahkan kadang juga bringas. Kosong dari kehadiran Tuhan dalam hati.
Sedang
yang terjebak hanya pada melulu hakikat, biasanya adalah kaum pemuja Tasawuf dan
aliran-aliran kebathinan. Disebut pemuja, karena mereka terjebak menggunakan
agama sebagai untuk 2 kepentingan. Pertama untuk menolak syariat karena malas, dan
kedua untuk gagah-gagahan dengan berbagai kebolehan mistik. Yang pertama menggunakan
hakikat sebagai kedok agar bebas dari tuntunan syariat, sedang yang kedua menggunakan
hakikat untuk mengejar kebanggaan dan keonaran dengan mengumpulkan
keanehan-anehan secara spiritual. Kasarnya, perdukunan yang dicap sebagai agama.
Kedua
pelaku tersebut, baik ekstremis syariat maupun ekstrimis hakikat, dari dulu
sampai sekarang, tak pernah henti saling merasa benar dan saling menjulurkan
lidah.
Lalu
adakah jalan keluar dari kedua jebakan itu?
Apalagi
jawabannya kalau bukan kembali pada Al Quran, dan meneladani prakteknya pada
pribadi Muhammad Rasulullah. Nabi Muhammad itulah model paling sempurna dalam
mempraktekkan agama Tuhan. Yang paling
presisi dari semua umat manusia bahkan para Nabi sebelumnya. Potret Insan Kamil
yang menjadi contoh bagi siapapun yang ingin menempuh jalan keselamatan. Baik
secara syariat apalagi hakikat. Baik dimensi Islamnya apalagi dimensi ihsannya.
Nabi Muhammad itulah hamba Tuhan yang paling makrifah. Dan dia jugalah utusan Tuhan yang paling syariah. Semua dimensinya, lengkap sudah pada dirinya secara seimbang. Tidak berat kekiri dan tidak berat ke kanan. Tepat pada porsi dan komposisinya. Padahal di zamannya, belum ada apa yang disebut sebagai Fiqh, Tasawuf dan aliran apapun dalam Islam. Bahkan Al-Quran sebagai sebuah kitab tertulis seperti sekarang, Juga belum ada. Apalagi hadits. Yang ada hanya, wahyu otentik yang diterimanya langsung dari Tuhan. Lalu praktek hidup yang sejalan dengan wahyu tersebut.
Komentar
Posting Komentar