Ciri
pekat bahwa kita memang sudah dan sedang beriman pada Tuhan, hanya Tuhan yang
ada dalam hati kita. Dan pikiran pun, juga hanya sibuk memikirkan apapun
tentang Tuhan. Meskipun disisi lain tangan dan kaki kita secara zahir, juga
sibuk bekerja atau melakukan apapun. Kemudian mata dan telinga kita secara
zahir juga tetap melihat dan mendengar apapun. Tapi semua itu tak lagi memberi
bekas pada diri kita. Tak berpengaruh. Kita seperti pedang bermata ganda. Dimensi
zahir kita tetap kontak dengan dunia yang terindera, tapi disisi lain pikiran
dan mata hati kita, hanya terhubung dengan Tuhan.
Artinya
hawa nafsu kita sudah padam. Ego kita sudah pudar. Sudah digantikan oleh
kehadiran Tuhan dalam hati kita. Ketika hanya Tuhan yang ada di hati kita, maka
hati itu akan jadi teduh, tawadhu, rela pasrah, ingin berbaik baik saja dengan
siapapun, tak berselera terhadap apapun selain Tuhan, lalu jadi rindu pada
Tuhan.
Hidupnya
selera, keinginan dan berbagai keluh kesah kita terhadap diri kita sendiri, orang
lain, situasi dan masa yang akan datang, adalah tanda bahwa hawa nafsu dan ego
kita masih menyala. Meskipun bibir kita mengaku atau berucap telah beriman pada
Tuhan, secara hakikatnya kita sebenarnya belum beriman. Hanya sekedar
ngaku-ngaku saja. Atau zikir kita hanya sekedar senam lidah.
Apalagi
jika kita masih mudah tersinggung lalu marah marah pada orang lain, itu jelas
bahwa di hati kita lagi tidak ada iman. Yang ada hanya hawa nafsu. Yang ada
adalah Ego kita. Sama sekali Tuhan belum hadir di hati kita. Makanya kita jadi mudah
tersinggung dan mudah marah. Karena kita sakit hati ketika kita kecewa dan tak
dihargai oleh orang lain. Harga diri kita masih menjulang. Ambisi ingin
dihargai orang masih tinggi. Itu adalah tanda bahwa kita merasa sangat
berharga. Diri kita adalah si Anu dan si Anu yang tak boleh disepelekan. “Awas!
Siapa yang tak menghargaiku, akan aku labrak!”
Itulah
yang sering saya alami terhadap isteri saya. Saya begitu sensitif terhadap
segala ocehannya. Apapun yang dia ucapkan, di hati ini selalu saya nilai dan
omeli. “Kamu cerewet. Kamu asal omong tak berdasar. Kamu ngawur. Mulutmu
sembrono. Bicaramu hanya tentang dunia. Dasar perempuan setan. Tak ada iman
sama sekali”. Lalu ketika ucapannya sampai membuat saya tersinggung, saya pun langsung
meledak.
Tapi
setelah luapan kemarahan saya berakhir, sesudahnya saya jadi sibuk mencaci
diri. “Oh diri ini .... betapa lemahnya iman ini. Aku ini masih jauuuh ....
dari apa yang disebut iman. Ini namanya nafsu amaroh. Mabok harga diri. Ya
Tuhan .... ampuni hambamu ini”
Begitulah.
Iman di level teori memang sangat mudah. Berlagak bersih di mulut dan
penampilan itu mudah. Tapi prakteknya, sulitnya minta ampun.
Dulu,
selama 2 bulan (Febuari – Maret 2025),
Saya pernah merasakan isteri saya tak lagi berpengaruh pada diri saya. Dia mau
apapun, tak ada pengaruhnya di hati ini. Dia mau cerewet, dia mau marah marah,
bahkan ketika saya bayangkan dia mau minggat dan telah tiada sekalipun, tak
berpengaruh apapun di hati saya. Keberadaannya di hati ini sudah menjadi benda
biasa. Tidak baik tidak buruk. Tidak menyenangkan dan juga tidak menyusahkan.
Nilainya sudah menjadi tawar. Sudah menjadi tak berasa. Saya tak lagi
mencintainya, tapi sekaligus juga tak membencinya. Hati ini tak lagi
membutuhkannya, tapi sekaligus juga perlu menghindar darinya. Selama 2 bulan
itu, hati ini hanya benar benar tenggelam dalam kerinduan pada Tuhan. Tuhaaan
.... saja yang jadi pikiran, hayalan dan impian saya. Rasanya begitu lapang dan
lezat. Meskipun mata ini sering berlinang karena gelora spiritual.
Tapi
sayang, ahwal atau suasana hati seperti itu, kini tak ada lagi. Suasana hati,
respon dan sikap bathin saya terhadapnya, kembali seperti sebelumnya. Berkali
kali saya perjuangkan dalam hati, tak pernah lagi bisa.
Disitu saya membathin, dan semakin yakin, bahwa yang saya alami selama 2 bulan itu, adalah pemberian dari Tuhan. Rahmat dari Tuhan. Atas kemurahan Tuhan. Tuhan yang membuat diri saya menjadi seperti itu. Bukan karena diri saya sendiri. Buktinya ketika ahwal seperti itu hilang dan saya perjuangkan sendiri dengan berbagai cara, tetap tidak bisa kembali. Padahal, hati saya pada Tuhan, tidak berubah. Sama sekali tidak mengendor. Termasuk dengan kekhusyukan saya saat beribadah dan aktivitas keseharian, hati ini tetap terbayang Tuhan dan sibuk mengelu-elukan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar