Langsung ke konten utama

Sebab Tersinggung dan Marah Tanda Tidak Beriman

 

Ciri pekat bahwa kita memang sudah dan sedang beriman pada Tuhan, hanya Tuhan yang ada dalam hati kita. Dan pikiran pun, juga hanya sibuk memikirkan apapun tentang Tuhan. Meskipun disisi lain tangan dan kaki kita secara zahir, juga sibuk bekerja atau melakukan apapun. Kemudian mata dan telinga kita secara zahir juga tetap melihat dan mendengar apapun. Tapi semua itu tak lagi memberi bekas pada diri kita. Tak berpengaruh. Kita seperti pedang bermata ganda. Dimensi zahir kita tetap kontak dengan dunia yang terindera, tapi disisi lain pikiran dan mata hati kita, hanya terhubung dengan Tuhan.

Artinya hawa nafsu kita sudah padam. Ego kita sudah pudar. Sudah digantikan oleh kehadiran Tuhan dalam hati kita. Ketika hanya Tuhan yang ada di hati kita, maka hati itu akan jadi teduh, tawadhu, rela pasrah, ingin berbaik baik saja dengan siapapun, tak berselera terhadap apapun selain Tuhan, lalu jadi rindu pada Tuhan.

Hidupnya selera, keinginan dan berbagai keluh kesah kita terhadap diri kita sendiri, orang lain, situasi dan masa yang akan datang, adalah tanda bahwa hawa nafsu dan ego kita masih menyala. Meskipun bibir kita mengaku atau berucap telah beriman pada Tuhan, secara hakikatnya kita sebenarnya belum beriman. Hanya sekedar ngaku-ngaku saja. Atau zikir kita hanya sekedar senam lidah.

Apalagi jika kita masih mudah tersinggung lalu marah marah pada orang lain, itu jelas bahwa di hati kita lagi tidak ada iman. Yang ada hanya hawa nafsu. Yang ada adalah Ego kita. Sama sekali Tuhan belum hadir di hati kita. Makanya kita jadi mudah tersinggung dan mudah marah. Karena kita sakit hati ketika kita kecewa dan tak dihargai oleh orang lain. Harga diri kita masih menjulang. Ambisi ingin dihargai orang masih tinggi. Itu adalah tanda bahwa kita merasa sangat berharga. Diri kita adalah si Anu dan si Anu yang tak boleh disepelekan. “Awas! Siapa yang tak menghargaiku, akan aku labrak!”

Itulah yang sering saya alami terhadap isteri saya. Saya begitu sensitif terhadap segala ocehannya. Apapun yang dia ucapkan, di hati ini selalu saya nilai dan omeli. “Kamu cerewet. Kamu asal omong tak berdasar. Kamu ngawur. Mulutmu sembrono. Bicaramu hanya tentang dunia. Dasar perempuan setan. Tak ada iman sama sekali”. Lalu ketika ucapannya sampai membuat saya tersinggung, saya pun langsung meledak.  

Tapi setelah luapan kemarahan saya berakhir, sesudahnya saya jadi sibuk mencaci diri. “Oh diri ini .... betapa lemahnya iman ini. Aku ini masih jauuuh .... dari apa yang disebut iman. Ini namanya nafsu amaroh. Mabok harga diri. Ya Tuhan .... ampuni hambamu ini”

Begitulah.
Iman di level teori memang sangat mudah. Berlagak bersih di mulut dan penampilan itu mudah. Tapi prakteknya, sulitnya minta ampun.

Dulu, selama 2 bulan (Febuari – Maret 2025),
Saya pernah merasakan isteri saya tak lagi berpengaruh pada diri saya. Dia mau apapun, tak ada pengaruhnya di hati ini. Dia mau cerewet, dia mau marah marah, bahkan ketika saya bayangkan dia mau minggat dan telah tiada sekalipun, tak berpengaruh apapun di hati saya. Keberadaannya di hati ini sudah menjadi benda biasa. Tidak baik tidak buruk. Tidak menyenangkan dan juga tidak menyusahkan. Nilainya sudah menjadi tawar. Sudah menjadi tak berasa. Saya tak lagi mencintainya, tapi sekaligus juga tak membencinya. Hati ini tak lagi membutuhkannya, tapi sekaligus juga perlu menghindar darinya. Selama 2 bulan itu, hati ini hanya benar benar tenggelam dalam kerinduan pada Tuhan. Tuhaaan .... saja yang jadi pikiran, hayalan dan impian saya. Rasanya begitu lapang dan lezat. Meskipun mata ini sering berlinang karena gelora spiritual.

Tapi sayang, ahwal atau suasana hati seperti itu, kini tak ada lagi. Suasana hati, respon dan sikap bathin saya terhadapnya, kembali seperti sebelumnya. Berkali kali saya perjuangkan dalam hati, tak pernah lagi bisa.

Disitu saya membathin, dan semakin yakin, bahwa yang saya alami selama 2 bulan itu, adalah pemberian dari Tuhan. Rahmat dari Tuhan. Atas kemurahan Tuhan. Tuhan yang membuat diri saya menjadi seperti itu. Bukan karena diri saya sendiri. Buktinya ketika ahwal seperti itu hilang dan saya perjuangkan sendiri dengan berbagai cara, tetap tidak bisa kembali. Padahal, hati saya pada Tuhan, tidak berubah. Sama sekali tidak mengendor. Termasuk dengan kekhusyukan saya saat beribadah dan aktivitas keseharian, hati ini tetap terbayang Tuhan dan sibuk mengelu-elukan Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...