Langsung ke konten utama

Percuma Menasehati dan Mendoakan Orang Lain. Tuhan Tak Peduli

 

Sebenci apapun saya terhadap perbuatan buruk seseorang, siapapun dia, tak kan pernah bisa mengubah prilaku mereka. Bahkan meskipun sudah saya nasehati dan marahi, tetap itu juga bukan jaminan mereka akan berubah. Termasuk meskipun mereka sudah saya doakan pada Tuhan, itupun juga tidak jaminan. Kalaupun mereka jadi berubah setelah saya melakukan salah satu dari ketiga usaha tersebut, itu hanya faktor kebetulan. Kebetulan sejalan dengan skenario Tuhan tanpa saya sadari. Kebetulan sesuai dengan takdir Tuhan untuk orang tersebut. Jadi bukan karena apa yang saya lakukan terhadapnya yang membuat mereka berubah. Karena apapun yang dilakukan manusia, tak bisa menerobos takdir Tuhan yang sudah ditetapkan Tuhan sejak azalinya. Sejak sebelum manusia ada.  

Itu artinya,
Berubah tidaknya seseorang, bukan karena siapapun oleh sesama manusia. Bahkan bukan oleh dirinya sendiri. Karena manusia, tak bisa membuat mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri. Apalagi untuk orang lain. Tapi karena Tuhanlah seseorang bisa berubah atau tidak. Rahmat Tuhanlah yang membuat itu terjadi. Tuhanlah pemegang kendalinya.  

Itulah artinya beriman pada takdir Tuhan. Dan sekaligus mengimani sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Memaksa (Al Jabbar) dan Maha Manaklukkan (Al-Qahhar). Di hadapan Tuhan, manusia tak bisa apa-apa. Dan apapun yang terjadi, baik kondisi diri, orang lain, peristiwa dan apapun, hakikatnya adalah tajali atau perpanjangan tangan dari takdir Tuhan. Atau perwujudan dari sifat Al-Jabbar dan Al-Qahhar Tuhan.

Jika demikian bagaimana status dari orang yang berbuat jahat? Tentu mereka tidak bisa disalahkan? Apalagi dihukum? Baik hukum kemasyarakatan apalagi hukum Tuhan?

Tergantung cara melihatnya. Secara syariat atau hukum keduniaan, perbuatan jahat itu tetap sebuah maksiat atau perbuatan yang tercela. Dan secara syariat mereka tetap dihukum. Tapi secara hakikat, itu tetap diimani sebagai takdir Tuhan. Sebagai kehendak dari Tuhan. Tentang bagaimana nasib mereka yang demikian dalam pengadilan Tuhan, tak ada yang bisa mengetahui. Sepenuhnya itu bergantung pada Tuhan. Jika Tuhan menerapkan sifat AdilNya, maka mereka akan dihukum oleh Tuhan. Tapi jika Tuhan menerapkan sifat Rahman RahimNya, maka dia tidak akan dihukum oleh Tuhan. Singkat kata itu sepenuhnya adalah hak preogratif Tuhan. Tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia tak bisa apa-apa. Karena Tuhan benar benar otonom dengan segala kehendakNya. Tak ada yang bisa mencampurinya. Berbusa-busa memperdebatkan tentang itu, hanya sia-sia.

Lalu apa yang bisa kita lakukan ketika kita sebagai manusia ditakdirkan Tuhan sebagai orang yang tercela atau berbuat maksiat?

Disitulah pentingnya memahami apa yang dilihat Tuhan terhadap para hambaNya. Apa yang dinilai Tuhan terhadap manusia. Banyak ayat dalam Al Quran dan juga hadist Nabi menjelasakan, yang dinilai Tuhan adalah hati manusia. Bagaimana itikad bathinnya. Bagaimana responnya secara bathin terhadap apapun yang terjadi pada dirinya dan juga orang lain. Intinya, amalu bin niat. Kunci semuanya, pada itikad bathin atau niat hati manusia.

Apa respon bathin seseorang setelah melakukan perbuatan tercela atau sebuah maksiat? Apakah perasaannya biasa saja, senang, bangga atau justru merasa sedih, gelisah, rasa bersalah dan menyesal? Lalu apa tekadnya sesudah itu?

Maka itulah yang dilihat oleh Tuhan. Itulah yang dinilai oleh Tuhan. Jika manusia merasa biasa saja apalagi merasa bangga dengan segala perbuatan buruknya, maka itu yang membuat Tuhan jadi murka. Tapi jika mereka merasa gelisah, merasa berdosa dan menyesal sekaligus bertekad tak akan mengulanginya lagi, maka itulah sikap bathin yang dipuji oleh Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan, bahwa Tuhan suka dengan hambaNya yang selalu kembali. Selalu tobat setiap melakukan kesalahan atau maksiat. Meskpun sesudahnya, peristiwa yang sama bisa terjadi lagi. Tapi lagi lagi, sesudahnya ditimpali lagi dengan rasa bersalah dan penyesalan. Lalu memohon ampun lagi pada Tuhan. Selalu dan selalu tobat pada Tuhan. Begitulah seterusnya sampai ajal tiba.

Begitu juga cara pasangnya dalam melihat perbuatan tercela atau maksiat yang dilakukan orang lain. Kita tetap benci atau mengutuk perbuatan maksiat tersebut dari sisi kemahklukannya. Yang kita benci, prilaku sadar orang tersebut dengan perbuatan tercela atau maksiatnya. Tapi disisi lain secara hakikatnya, sekaligus itu juga kita imani sebagai kehendak atau takdir Tuhan dibalik layar, yang tidak boleh kita tolak apalagi kita cela. Karena menolak apalagi mencelanya, sama artinya dengan mencela takdir Tuhan. Atau kita tidak ridho dengan perbuatan Tuhan. Karena apapun yang terjadi dalam hidup ini, pada hakikatnya adalah perwujudan dari perbuatan Tuhan. Itu yang dimaksud dengan Tauhid Af’al. Hanya Tuhan yang bisa berbuat.

Karena itulah kita dilarang Tuhan untuk membenci segala sesuatu sampai lepas kendali. Misalnya sampai dendam dan kesumat pada seseorang, sampai ingin mencelakakan orang lain dan sejenisnya. Jadi sikap yang dipasang, adalah sikap seperti pedang bermarta ganda. Sebelah sisinya kita benci, tapi disisi lainnya kita maklumi. Yang kita benci dari sisi kemanusiaannya, sedang yang kita maklumi dari sisi ketuhanannya.

Lalu jika demikian apalagi gunanya kita berusaha dan berdoa? Bukankah usaha dan doa itu menjadi percuma?

Lagi lagi yang dilihat Tuhan dari diri kita adalah respon hati kita. Itikad bathin kita. Sejauhmana sikap kehambaan sudah merasuk dalam diri kita. Karena hakikat manusia diciptakan Tuhan, adalah untuk mengabdi pada Tuhan. Kata lain dari abdi itu adalah hamba. Hanya orang yang sudah merasa sebagai hamba yang akan bisa mengabdi. Yang tidak merasa sebagai hamba, biasanya justru akan mendongak atau berlaku sombong.

Maka disitulah arti usaha dan doa yang dilakukan manusia. Sebagai bukti kehambaannya dihadapan Tuhan. Saking sadar betapa tak berdayanya manusia terhadap apapun yang dikehendaki Tuhan, maka remuklah hatinya dalam harapan pada Tuhan. Jadi benar benar dirasakan, betapa manusia jadi benar benar butuh pada pertolongan dan kemurahan Tuhan. “Oh Tuhan .... tolonglah hambaMu ini”. Atau lagi: “Ya Tuhan .... tunjukilah anak hamba ya Tuhan”

Walaupun doa itu tetap tak kan mengubah takdir demi takdir yang sudah ditetapkan Tuhan sejak azalinya. Tapi jerit penghambaan yang penuh pengharapan itulah yang dinilai oleh Tuhan. Remuk redam rasa kehambaan itulah yang jadi penilaian Tuhan. Bahwa kita, sudah menghambakan diri pada Tuhan.

Maka itu artinya, kita berusaha dan berdoa, pada hakikatnya bukan dengan tujuan agar kita, atau orang lain yang kita bantu dan doakan, bisa sukses dan bisa begini bisa begitu. Tapi adalah sebagai bukti kehambaan kita pada Tuhan. Sebagai bukti pengabdian kita pada Tuhan. Karena yang dinilai Tuhan, bukan hasil hasil dari apa yang kita dan siapapun raih secara zahir. Tapi adalah niat kita dibalik setiap apa yang kita lakukan. Yang dinilai Tuhan adalah apa yang bersemayam didalam dada kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...