Langsung ke konten utama

Bahaya Tersembunyi Sholat di Mesjid dan di Rumah

Hanya sholat dengan tubuh di Mesjid, sangat mudah. Yang sulit adalah, kita sholat di Mesjid, tapi dengan hati. Dengan hati maksudnya, niat kita sholat di Mesjid semata mata hanya karena ingin lebih khusuk untuk menghadap pada Allah.  Yang kita impikan, agar saat sholat itu Tuhan benar benar terasa hadir di hati kita.

Jika niat kita bukan itu melakukan sholat di Mesjid, maka tanpa kita sadari hakikatnya kita dalam bahaya. Berbahaya secara spiritual. Kita akan terjebak pada riya, ujub dan takjub pada diri sendiri saat melakukannya. Diam-diam di hati kita akan menyusup rasa ingin dilihat dan diilai oleh banyak orang. Akan timbul rasa bangga dalam hati. Akan timbul rasa bahwa kita telah menjadi orang yang mulia. Bahkan bisa menilai orang lain yang tidak seperti kita adalah orang yang kotor.

Jika itu yang terjadi, kita adalah orang yang munafik. Secara zahir kita kelihatan lagi taat dan rajin menghadapat pada Tuhan. Padahal yang dituju hati kita, ternyata bukan Allah. Tapi adalah penilaian orang lain. Yang kita tuju adalah mahkluk. Yang diabdi hati kita, ternyata bukan Tuhan. Tapi adalah orang lain.

Jika kita tak sanggup memelihara diri dari sikap bathin seperti itu, maka sholat di rumah lebih baik untuk kita. Cukuplah sholat di kamar saja tanpa seisi rumah kita ada yang tahu.

Tapi kita harus tetap waspada. Jangan langsung merasa selamat dari dosa bathin seperti itu walaupun kita sholat sendiri di ruang kesunyian kita dalam kamar. Misalnya kita merasa sudah tidak riya lagi, merasa sudah ikhlas, merasa lebih baik dari orang-orang yang sholat di Mesjid, dan yang sejenis dengan itu. Itu artinya kita juga tetap masuk perangkap.  Terjebak pada rasa ujub dan takjub. Merasa diri telah lebih baik dari orang lain.  Berarti tanpa kita sadari hati kita masih bengkok.

Yang lurusnya adalah,
Kita hanya fokus pada diri kita saja dalam hubungannya dengan Allah. Kita menghindar dari sholat berjamaah di Mesjid, karena kita sadar belum bisa memelihara hati dari sikap riya, ujub dan takjub. Tentang bagaimana dengan orang lain, atau nilai lebih kita dari orang lain, kita lupakan. Sibuklah hanya dengan merajam diri sendiri agar semakin ikhlas, tawadhu dan benar benar lurus menghadap pada Allah. Tanpa dibayang-bayangi oleh apa dan siapapun selain Allah.


Dan itu memang tidak mudah. Saya sendiri juga masih jauh dari itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...