Makrifat maksudnya tentu saja makrifatullah. Mengenal Allah.
Mengenal maksudnya bukan hanya tahu secara teori (ilmul yaqin). Tapi memang
sudah merasakan kehadiran (hudur) Tuhan dalam hati. Sudah menjadi pengalaman
yang menyelimuti diri (haqqul yakin). Yang pertama itu disebut sebagai teori
tentang makrifat. Sedang yang kedua adalah pengalaman makrifat.
Kalau hanya sekedar makrifat secara teori, itu baru sekedar
informasi biasa. Ibaratnya persis seperti kita berpikir, bercerita dan
membayangkan tentang sentrum arus listrik. Tapi kita sendiri belum pernah kena
sentrumnya. Tapi jika makrifat itu sudah menjadi pengalaman, ibaratnya sama
dengan orang yang sudah kena sentrum langsung oleh arus listrik. Sekujur
tubuhnya akan geger. Mukanya pucat, jantungnya berguncang hebat dan
kesadarannya akan remuk dalam seketika. Dia mendadak jadi blank. Hilang
kesadaran. Menjadi fana dalam sekejap.
Setelah siuman dan sadar, dia akan jadi melongo. Terdiam
sambil geleng-geleng: “Benar benar mengerikan. Sangat berbahaya rupanya. Mulai
saat ini saya harus hati hati dengan arus listrik ini. Tak boleh menyentuhnya”.
Intinya bathiniasasi diri, sikap dan prilakunya setelah itu akan jadi berubah
360 derjat dari sebelumnya terhadap listrik. Menjadi penuh hati hati dan tak
mau ceroboh lagi.
Begitulah kalau seseorang sudah sampai mengecap rasa makrifat
dengan Tuhan. Dirinya akan merasakan langsung betapa lezatnya pengalaman makrifat
itu. Sebuah kelezatan bathin yang tak bisa dicari padanannya dengan kelezatan zahir
apapun. Dan tingkat kelezatan itu juga luas dan bertingkat tingkat. Tergantung
seberapa dalam seseorang mendapatkannya. Efeknya sesudahnya, juga akan mengubah
pandangan seseorang terhadap hidup. Apa tujuan hidup sebenarnya dan bagaimana
cara menjalani hidup yang benar sesuai kehendak Tuhan. Bahkan sampai dosis
tertentu, juga bisa tersingkap baginya berbagai rahasia dunia malakut dan hal
hal yang bersifat illahiah yang tak pernah dialami oleh siapapun yang belum
pernah mencapai pengalaman makrifat.
Intinya meskipun secara zahir orang tersebut masih berada di dunia, dan tetap
hidup sebagaimana orang lain hidup normal, tapi secara bathiniahnya, orang itu
sudah hidup di dunia yang berbeda. Ruhaninya sudah melesat ke seberang dunia.
Pada dirinya, hidup dan mati akan menjadi sama. Karena dia sudah bertemu dengan
Tuhannya. Sudah wushul (terhubung).
Orang-orang itulah yang dalam Al Quran dikatakan pada
dirinya tak ada lagi rasa sedih. Sudah berganti dengan rasa lapang dan tentram.
Nah karena itulah biasanya orang yang menempuh jalan
makrifat (salik), jadi ingin cepat sampai pada maqom (tingkat) dan ahwal
(suasana bathin) seperti itu. Bahkan bisa menjadi tak sabaran. Persis seperti
orang ingin cepat kaya. Dirinya selalu dihantui oleh keinginan untuk segera mendapatkannya.
Hati dan pikirannya jadi sibuk memikirkan dan membayangkan tentang itu.
Sebabnya bisa karena penasaran dan tak sabar untuk ikut merasakan
pengalaman sepertti itu. Dan disisi lain juga bisa karena tak tahan dengan
ribetnya menjalani hidup duniawi yang sudah memuakkan alias ingin melarikan
diri dari kenyataan hidup.
Tapi semakin seseorang dihantui oleh ambisi seperti itu,
biasanya dia akan semakin jauh panggang dari api. Jangankan pertumbuhan
pengalaman spiritualnya bertambah maju, justru dia jadi terlempar menjadi
seperti orang biasa tanpa disadarinya. Meskipun hati dan pikirannya tetap sibuk
mengingat Tuhan, membayangkan hal hal yang bersifat makrifat, lalu juga rajin
melakukan ibadah dan menghindar dari berbagai aspek duniawi, tapi hatinya jadi
tak merasakan apa-apa lagi. Bahkan yang dirasakannya justru berubah menjadi kegelisahan.
Kenapa bisa gelisah?
Karena dirinya sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Nafsu ingin cepat makrifat.
Nafsu ingin mengecap kelezatan makrifat. Dan sekaligus nafsu untuk melarikan
diri dari tanggung jawab hidup kongkrit sehari hari. Yang dia impikan, yang dia
kejar, dan yang dia umbar dengan paksa tanpa disadarinya, adalah untuk
memuaskan dirinya sendiri.
Singkatnya niat hatinya palsu.Ada kebocoran secara spiritual. Yang dia tuju bukan lagi
Tuhan. Yang dia pasang dalam hatinya bukan lagi untuk mengamba dan mengabdikan
diri pada Tuhan dengan iklhas tanpa pamrih.
Itulah yang dimaksud dengan, dia yang mencari tidak akan menemukan apa-apa.
Sedang dia yang tak mencari, akan mendapatkan banyak hal yang tak terduga. Dia
yang berjalan dengan keinginannya sendiri, akan sulit dan menderita. Sedang dia
yang diperjalankan oleh Tuhan, tidak merasakan kesusahan dan sekaligus
mendapatkan banyak hal.
Maka disitulah pentingnya memahami berbagai sifat Tuhan. Khususnya berkaitan dengan ini adalah tentang
kehendak Tuhan. Bila Tuhan sudah berkehendak, maka apapun tak kan bisa
menghalangiNya. Begitu juga sebaliknya jika Tuhan tak berkehendak, maka sekuat
apapun kita ingin dan bersikeras untuk menggapainya, tak akan pernah terjadi.
Karena itulah pada hakikatnya manusia tidak punya pilihan
selain tunduk dan pasrah pada kehendak Tuhan. Rela atau ridho dengan apapun
yang diberikan Tuhan untuk dirinya. Termasuk dengan pengalaman makrifat. Dengan
kata lain, pengalaman demi pengalaman makrifat itu adalah sebuah anugrah. Bukan
sebuah hasil pencapaian manusia. Siapa yang dikehendaki Tuhan untuk makrifat
dengan DiriNya, maka menjadi makrifatlah orang tersebut. Begitu juga
sebaliknya.
Tapi memasang sikap seperti itu sangat tidak mudah. Sebabnya
karena dalam diri manusia, ada hawa nafsu yang selalu melekat pada dirinya. Sedang
sikap ridho, sikap rela pasrah itu, hanya bisa terjadi ketika nafsu dalam
dirinya sudah berhasil dia tidurkan. Tapi selagi nafsu itu hidup dan
menyala-nyala, maka dia tidak akan bisa rela pasrah dan berpuas diri hanya
dengan apa yang dihendaki Tuhan untuk dirinya. Dia akan selalu meronta ronta
ingin ini ingin itu. Dia akan selalu menolak takdir Tuhan untuk dirinya, lalu
membelok kesana kemari pada apapun yang diinginkannya.
Itu artinya,
Yang bisa dilakukan seorang penempuh jalan makrifat, bukanlah mempercepat agar
terjadinya makrifat pada dirinya. Tapi adalah, membersihkan dirinya dari hawa
nafsu. Jika hatinya sudah bersih dari pengaruh hawa nafsu, baru hati itu akan
bisa rela pasrah. Dan sesudahnya baru dia bisa merasakan dan bertemu dengan
Tuhannya.
Ibaratnya,
Cermin yang kotor tetap tak kan bisa memantulkan apapun meskipun banyak benda
sudah ditempelkan ke cermin tersebut. Tapi ketika sebuah cermin sudah bersih,
maka baru cermin itu jadi bisa dan peka memantulkan benda apapun yang ada di
depannya. Bahkan benda yang jauh sekalipun. Begitulah perumpamaannya hati yang
sudah bersih dari noda-noda hawa nafsu.
Hati manusia, adalah cermin Tuhan. Tapi bukan untuk sembarang hati. Tapi hati
yang sudah bersih dari noda dan cela.
Komentar
Posting Komentar