Langsung ke konten utama

Bahaya Ingin Cepat Makrifat: Masuk Perangkap Setan!

Makrifat maksudnya tentu saja makrifatullah. Mengenal Allah. Mengenal maksudnya bukan hanya tahu secara teori (ilmul yaqin). Tapi memang sudah merasakan kehadiran (hudur) Tuhan dalam hati. Sudah menjadi pengalaman yang menyelimuti diri (haqqul yakin). Yang pertama itu disebut sebagai teori tentang makrifat. Sedang yang kedua adalah pengalaman makrifat.

Kalau hanya sekedar makrifat secara teori, itu baru sekedar informasi biasa. Ibaratnya persis seperti kita berpikir, bercerita dan membayangkan tentang sentrum arus listrik. Tapi kita sendiri belum pernah kena sentrumnya. Tapi jika makrifat itu sudah menjadi pengalaman, ibaratnya sama dengan orang yang sudah kena sentrum langsung oleh arus listrik. Sekujur tubuhnya akan geger. Mukanya pucat, jantungnya berguncang hebat dan kesadarannya akan remuk dalam seketika. Dia mendadak jadi blank. Hilang kesadaran. Menjadi fana dalam sekejap.

Setelah siuman dan sadar, dia akan jadi melongo. Terdiam sambil geleng-geleng: “Benar benar mengerikan. Sangat berbahaya rupanya. Mulai saat ini saya harus hati hati dengan arus listrik ini. Tak boleh menyentuhnya”. Intinya bathiniasasi diri, sikap dan prilakunya setelah itu akan jadi berubah 360 derjat dari sebelumnya terhadap listrik. Menjadi penuh hati hati dan tak mau ceroboh lagi.

Begitulah kalau seseorang sudah sampai mengecap rasa makrifat dengan Tuhan. Dirinya akan merasakan langsung betapa lezatnya pengalaman makrifat itu. Sebuah kelezatan bathin yang tak bisa dicari padanannya dengan kelezatan zahir apapun. Dan tingkat kelezatan itu juga luas dan bertingkat tingkat. Tergantung seberapa dalam seseorang mendapatkannya. Efeknya sesudahnya, juga akan mengubah pandangan seseorang terhadap hidup. Apa tujuan hidup sebenarnya dan bagaimana cara menjalani hidup yang benar sesuai kehendak Tuhan. Bahkan sampai dosis tertentu, juga bisa tersingkap baginya berbagai rahasia dunia malakut dan hal hal yang bersifat illahiah yang tak pernah dialami oleh siapapun yang belum pernah mencapai pengalaman makrifat.

Intinya meskipun secara zahir orang tersebut masih berada di dunia, dan tetap hidup sebagaimana orang lain hidup normal, tapi secara bathiniahnya, orang itu sudah hidup di dunia yang berbeda. Ruhaninya sudah melesat ke seberang dunia. Pada dirinya, hidup dan mati akan menjadi sama. Karena dia sudah bertemu dengan Tuhannya. Sudah wushul (terhubung).

Orang-orang itulah yang dalam Al Quran dikatakan pada dirinya tak ada lagi rasa sedih. Sudah berganti dengan rasa lapang dan tentram.

Nah karena itulah biasanya orang yang menempuh jalan makrifat (salik), jadi ingin cepat sampai pada maqom (tingkat) dan ahwal (suasana bathin) seperti itu. Bahkan bisa menjadi tak sabaran. Persis seperti orang ingin cepat kaya. Dirinya selalu dihantui oleh keinginan untuk segera mendapatkannya. Hati dan pikirannya jadi sibuk memikirkan dan membayangkan tentang itu.

Sebabnya bisa karena penasaran dan tak sabar untuk ikut merasakan pengalaman sepertti itu. Dan disisi lain juga bisa karena tak tahan dengan ribetnya menjalani hidup duniawi yang sudah memuakkan alias ingin melarikan diri dari kenyataan hidup.

Tapi semakin seseorang dihantui oleh ambisi seperti itu, biasanya dia akan semakin jauh panggang dari api. Jangankan pertumbuhan pengalaman spiritualnya bertambah maju, justru dia jadi terlempar menjadi seperti orang biasa tanpa disadarinya. Meskipun hati dan pikirannya tetap sibuk mengingat Tuhan, membayangkan hal hal yang bersifat makrifat, lalu juga rajin melakukan ibadah dan menghindar dari berbagai aspek duniawi, tapi hatinya jadi tak merasakan apa-apa lagi. Bahkan yang dirasakannya justru berubah menjadi kegelisahan.

Kenapa bisa gelisah?
Karena dirinya sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Nafsu ingin cepat makrifat. Nafsu ingin mengecap kelezatan makrifat. Dan sekaligus nafsu untuk melarikan diri dari tanggung jawab hidup kongkrit sehari hari. Yang dia impikan, yang dia kejar, dan yang dia umbar dengan paksa tanpa disadarinya, adalah untuk memuaskan dirinya sendiri.

Singkatnya niat hatinya palsu.Ada kebocoran secara spiritual. Yang dia tuju bukan lagi Tuhan. Yang dia pasang dalam hatinya bukan lagi untuk mengamba dan mengabdikan diri pada Tuhan dengan iklhas tanpa pamrih.

Itulah yang dimaksud dengan, dia yang mencari tidak akan menemukan apa-apa. Sedang dia yang tak mencari, akan mendapatkan banyak hal yang tak terduga. Dia yang berjalan dengan keinginannya sendiri, akan sulit dan menderita. Sedang dia yang diperjalankan oleh Tuhan, tidak merasakan kesusahan dan sekaligus mendapatkan banyak hal.

Maka disitulah pentingnya memahami berbagai sifat Tuhan.  Khususnya berkaitan dengan ini adalah tentang kehendak Tuhan. Bila Tuhan sudah berkehendak, maka apapun tak kan bisa menghalangiNya. Begitu juga sebaliknya jika Tuhan tak berkehendak, maka sekuat apapun kita ingin dan bersikeras untuk menggapainya, tak akan pernah terjadi.

Karena itulah pada hakikatnya manusia tidak punya pilihan selain tunduk dan pasrah pada kehendak Tuhan. Rela atau ridho dengan apapun yang diberikan Tuhan untuk dirinya. Termasuk dengan pengalaman makrifat. Dengan kata lain, pengalaman demi pengalaman makrifat itu adalah sebuah anugrah. Bukan sebuah hasil pencapaian manusia. Siapa yang dikehendaki Tuhan untuk makrifat dengan DiriNya, maka menjadi makrifatlah orang tersebut. Begitu juga sebaliknya.

Tapi memasang sikap seperti itu sangat tidak mudah. Sebabnya karena dalam diri manusia, ada hawa nafsu yang selalu melekat pada dirinya. Sedang sikap ridho, sikap rela pasrah itu, hanya bisa terjadi ketika nafsu dalam dirinya sudah berhasil dia tidurkan. Tapi selagi nafsu itu hidup dan menyala-nyala, maka dia tidak akan bisa rela pasrah dan berpuas diri hanya dengan apa yang dihendaki Tuhan untuk dirinya. Dia akan selalu meronta ronta ingin ini ingin itu. Dia akan selalu menolak takdir Tuhan untuk dirinya, lalu membelok kesana kemari pada apapun yang diinginkannya.

Itu artinya,
Yang bisa dilakukan seorang penempuh jalan makrifat, bukanlah mempercepat agar terjadinya makrifat pada dirinya. Tapi adalah, membersihkan dirinya dari hawa nafsu. Jika hatinya sudah bersih dari pengaruh hawa nafsu, baru hati itu akan bisa rela pasrah. Dan sesudahnya baru dia bisa merasakan dan bertemu dengan Tuhannya.  

Ibaratnya,
Cermin yang kotor tetap tak kan bisa memantulkan apapun meskipun banyak benda sudah ditempelkan ke cermin tersebut. Tapi ketika sebuah cermin sudah bersih, maka baru cermin itu jadi bisa dan peka memantulkan benda apapun yang ada di depannya. Bahkan benda yang jauh sekalipun. Begitulah perumpamaannya hati yang sudah bersih dari noda-noda hawa nafsu.

Hati manusia, adalah cermin Tuhan. Tapi bukan untuk sembarang hati. Tapi hati yang sudah bersih dari noda dan cela.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...