Langsung ke konten utama

Bahaya Beragama/Beriman pada Tuhan dengan Nafsu

Hingga postingan ini saya tulis, sudah 10 bulan saya hidup di jalan Tuhan. Hidup beriman pada Tuhan. Dan itu saya jalani dengan sungguh-sungguh. Dengan sepenuh hati. Baik saat beribadah khususnya Sholat, maupun membathin tentang Tuhan sambil bekerja dalam keseharian.

Semua itu bermula tanpa pernah saya duga, dimana sebelumnya, saya sudah tak tahan ditampar 3 tragedi secara beruntun dalam hidup saya. Lalu tiba-tiba saja pada suatu waktu saya jadi tergerak untuk Sholat dan bermunajat pada Tuhan dari hati saya yang paling dalam, tanpa dapat saya bendung. Maka berlinang air matalah saya melakukannya dari awal sampai selesai. Sejak saat itu, hidup saya jadi berubah 360 derjat. Menjadi taat dan penuh tawadhu. Rasanya begitu lezat. Tak ada yang bisa menyamainya dengan kelezatan apapun secara badani.

Maka sejak saat itu pula saya jadi rajin mendengar ceramah agama secara online, mendengar murotal Al Quran, membaca ebook dan juga beberapa buku tentang agama dan Tuhan. Dengan tujuan, agar iman yang sudah bergetar di hati ini terus bertambah. Dan memang saya rasakan, dari waktu ke waktu, rasa itu terus bertambah. Saya semakin mudah tersentuh secara spiritual. Nyaris setiap sholat dan bermunajat, saya berlinang air mata. Bahkan diluar sholat pun, dalam keseharian, sambil bekerja, sambil mengendarai sepeda motor, saya juga sering berlinang air mata karena ingat dan rindu pada Tuhan.

Singkat cerita,
Saya menjadi full Tuhan. Hanya Dia yang saya tuju dalam hidup saya. Dan hanya Dia yang saya elu-elukan dalam hati. Apapun kegiatan saya, saya niatkan untuk Tuhan. Dan sambil bekerja, telinga saya selalu pasang headset mendengarkan video dan audio tentang Tuhan. Kalau bercerita dengan orang lain, mau saya juga bercerita tentang Tuhan. Jika tidak, maka saya tak berselera untuk bercakap-cakap dengan siapapun. Termasuk dengan anak dan isteri saya sendiri.

Akibatnya kemudian, saya lebih banyak diam dari bicara. Jika tak begitu penting, saya hanya diam saja. Tapi jika dengan mereka yang punya minat terhadap agama dan Tuhan, baru saya banyak bicara. Bahkan dengan semangat. Saya jadi semangat berbagi pengalaman dan penghayatan tentang Tuhan, tentang ibadah dan pengalaman rohani.  Intinya tentang bagaimana prinsip dasar hidup dengan kesadaran iman.

Dari waktu ke waktu,
Sikap seperti itu semakin mengental dalam diri saya. Hanya berselera bercakap-cakap jika topiknya adalah agama dan Tuhan. Jika tidak, saya tidak hanya sekedar diam. Tapi lama-lama juga jadi menggerutu dalam hati. “Ini orang benar benar tak punya iman. Maunya berceloteh tentang kesibukan dunia saja”

Diam-diam dalam hati, saya jadi membanding-bandingkan diri saya dengan mereka yang tak condong pada agama dan Tuhan. “Mereka tak sadar bahwa kehidupan dunia ini hanya tipuan. Kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat setelah kehidupan dunia berakhir. Apa mereka tak takut mati. Kok tak ada rasa bersalah pada diri mereka yang hanya sibuk berpacu, saling berlomba dan bermegah-megah diri. Lihat saja nanti. Sampai waktunya tiba, mereka akan kena jewer juga oleh Tuhan. Bisa dengan kesusahan, bisa dengan penyakit atau apapun yang membuat mereka jadi tersiksa. Sekarang saja yang belum karena belum tiba jatahnya dari Tuhan”

Monolog seperti itu, akhirnya sulit lepas dari hati saya. Bahkan akhirnya naik level menjadi jengkel. Jengkel kenapa umumnya orang disekitar hidup saya, tak juga condong pada agama dan Tuhan. “Padahal saya sendiri sudah setengah mampus untuk berjuang mendekatkan diri pada Tuhan”.  Akibatnya jika dapat kesempatan bicara, saya jadi tak tahan untuk menyindir dan menceramahi mereka.

Dan puncaknya,
Pernah suatu kali saya mencerami isteri saya sehabis sholat. Mula-mula tempo dan nada suara saya pelan. Penuh tawadhu. Tapi lama-lama akhirnya bicara saya mulai sinis dan ketus. Tapi isteri saya, hanya diam saja.

Sesudahnya, saya jadi menyesal.
“Ah kenapa ya. Kok saya jadi menceramahi isteri saya seperti itu? Ah terjebak lagi. Susahnya mengendalikan diri ini.”

Dan keesokan harinya,
Saya merasa tak nyaman sepanjang waktu. Saya jadi bad mood. Suasana hati saya jadi gelisah tak menentu. Lalu entah kenapa kemudian, saya jadi begitu malas untuk sholat. Dari pagi sampai menjelang tidur malam saat itu saya tak sholat sekalipun.

“Kok sekarang saya jadi begini ya? Bukankah saya sudah hidup dengan iman? Tapi kenapa bisa jadi seperti ini?”

Disitulah saya tersadar,
Jadi terpikir apa beda suasana hati saya di paroh awal saya mulai hidup beriman dengan paroh akhir. Di fase awal, saya justru tak terpikir siapapun dalam hati. Saya hanya sibuk dengan diri saya sendiri yang tenggelam dalam gelora spiritual pada Tuhan. Lalu sibuk menyesali berbagai kekurangan diri. Tapi di fase berikutnya, justru saya sibuk menilai orang lain dalam hati. Sekalian membanding-bandingkannya dengan ketaatan dan kekhusyukan saya dalam beribadah dan menghayati hidup dengan iman.

Begitulah.
Bila hawa nafsu sudah masuk, maka apapun yang dijalani, tetap akan jadi masalah bahkan menjadi siksaan. Meskipun niat saya adalah untuk beragama dan mendekatkan diri pada Tuhan, tapi bila bocor oleh dorongan hawa nafsu, akibatnya tetap sama dengan mereka yang bernafsu dengan dunia. Hasil akhirnya tetap sama. Sama-sama terjebak mengikuti hawa nafsu.

Itulah yang saya maksud dengan bahaya beriman pada Tuhan jika dengan nafsu. Nafsu itu adalah ego sendiri. Keinginan yang menggebu-gebu. Itu adalah kata lain dari ambisi. Dan ambisi itu bukanlah iman. Kalau yang bekerja adalah iman, efeknya hati akan menjadi teduh, lembut, tawadhu, dan tidak tergesa-gesa apalagi sampai meledak-ledak.

Saya akui, perubahan sikap saya dalam beragama akhir akhir ini, adalah akibat dari saya tergelincir pada sikap ujub tanpa saya sadari. Karena ketaatan dan kekhusyukan saya yang sering sampai berlinang air mata, lama lama saya merasa sudah mantap dalam iman. Lalu jadi terdorong untuk menilai dan mengutuk orang lain dalam hati.  Padahal, saya bisa seperti itu, hakikatnya bukan karena diri saya sendiri. Tapi karena rahmat dari Tuhan alias karena pemberian dari Tuhan. Tapi lama-lama saya merasa itu adalah berkat ikthiar saya sendiri. Berkat perbuatan saya sendiri tanpa diawali campur tangan Tuhan. Akhirnya Tuhan menjewer saya. Tak lagi merahmati saya hingga saya tak mampu lagi untuk beribadah. Tak mampu lagi untuk bersikap teduh dan tawadhu. Malah terjebak dalam suasana hati merasa diri telah mulia dari orang lain. Dengan kata lain itu adalah laknat tersembunyi Tuhan untuk diri saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...