Bila isteri wataknya sudah berubah menjadi temperamen, sering marah-marah pada kita
dan siapapun, mau ada sebab yang jelas atau tidak, ekspresi mukanya tak lagi
sejuk pada kita, mulutnya sering ketus, kasar tanpa pernah lembut atau sentuhan
perasaan lagi, maka sadarilah, itu tandanya masa expire hatinya untuk kita sudah tiba.
Mau
dia kita nasehati, kita sindir, kita ngambeg, kita diam, apalagi kita marahi, pengaruhnya
tak kan ada. Jangankan dia akan menangis, yang terjadi malah dia akan berbalik
menerkam kita.
Termasuk
jika dia kita ancam dengan perceraian pun, air mata cemas dan sedihnya juga tak
kan keluar. Paling tinggi yang keluar hanya air mata buayanya.
Singkatnya
apapun usaha yang kita lakukan, akan percuma. Nasib kita sama dengan meninju
tembok. Semakin kita bernafsu untuk memukulnya, maka kita yang akan semakin
terluka dan bernanah. Atau seperti Punguk merindukan Bulan. Mau menghiba-hiba
hingga menangis darah pun, dia tetap tak kan peduli apalagi berubah.
Apapun dari diri kita, tak kan ada lagi yang elok dan bisa dihargai, disukai apalagi dikaguminya. Tak satupun lagi yang berarti dari diri kita baginya. Bahkan kita dalam kesusahan, tubuh semakin kurus dan lusuh, roman muka tak pernah gembira, selalu dalam duka, dia juga tak kan peduli. Kalau pun dia peduli, itu juga hanya kepedulian palsu. Sekedar pemanis di permukaan untuk menhindar dari delik..
Karena
itu tak ada guna lagi kita berharap dia akan kembali seperti sebelumnya. Apalagi
berharap kehadiran kita akan kembali berarti
baginya. Tak ada guna menghayal kita akan kembali menjadi pemimpin baginya,
menjadi pelindung baginya, menjadi labuhan hati tempat berteduh baginya,
apalagi menjadi pribadi pujaannya. Yang akan terus terjadi biasanya, kita akan
menjadi orang asing bersamanya. Tamu tak diundang yang tak dilirik sebelah mata
pun. Bahkan bisa lebih parah dari itu: Budak atau sampah yang tak berguna.
Lalu
kenapa itu bisa terjadi?
Inti
sebab dari semua itu adalah,
Kita sudah tak ada lagi di hatinya. Terserah apa sebabnya. Mau sebab itu
meyakinkan atau tidak, bahkan mau tanpa sebab sekalipun, yang jelas, kita
sebagai suaminya, sudah terblokir di hatinya. Masa berlaku segalanya sudah
berakhir di hatinya.
Karena
itulah sibuk merenung, mencari solusi, uji coba berbagai cara, tak kan berguna.
Yang terjadi biasanya kita hnya akan semakin tersiksa semakin dalam. Neraka
dunia yang sangat pedih.
Jika
kita termasuk orang yang beruntung, maka hati kita akan terpanggil untuk
menyerahkan diri pada Tuhan tanpa dapat kita bendung. Lalu sujud tunduk
berlinang air mata di sajadah. Dibuka Tuhan mata hati kita. Akan jadi tersadar
diri kita, ternyata itulah hikmah dibalik semua itu, bahwa kita sudah begitu
lama melupakan Tuhan. Yang ada di hati kita melulu hanya isteri kita. Hanya
rumah tangga kita. Kita sibuk cari uang, bekerja dan mengabdikan diri hanya untuk
anak isteri kita. Tanpa kenal waktu. Di hati kita tak pernah ada Tuhan.
Walaupun sebelumnya kita tetap Sholat dan ibadah lainnya, tapi semua itu tak pernah
merasuk di hati kita. Kita melakukannya hanya
sekedar bayar hutang ritual dengan kejar tayang. Atau untuk curi muka di
hadapan orang lain.
Jika
kita jadi tersadar seperti itu, maka
semua kepedihan itu akan berubah menjadi manis. Ternyata semua itu adalah rahmat
Tuhan dengan wajah terbalik. Sebuah pengantar hidayah atau petunjuk Tuhan untuk
diri kita. Dengan cara itulah Tuhan menggiring kita agar bisa kembali padaNya.
Dengan siksaan yang teramat pedih lewat isteri kita.
Kita yang seperti itu, sesungguhnya adalah orang yang beruntung. Karena sudah mendapat petunjuk dari Tuhan. Tak semua orang diselamatkan Tuhan dari masalah pelik seperti itu. Banyak orang tetap dibiarkan Tuhan terombang ambing dalam kegelapan seperti itu hingga dirinya remuk tak tentu arah dan tiada ujung.
*) Sumber: Pengalaman pribadi
Komentar
Posting Komentar