Langsung ke konten utama

Apakah Rasa Iman Itu Ikthiar atau Pemberian dari Tuhan?

Yang dimaksud rasa iman, bukan hanya sekedar percaya secara intelektual berdasarkan logika berpikir. Apalagi sekedar diucapkan oleh mulut. Tapi adalah, benar benar terasa di hati. Benar benar merasuk di lubuk hati yang paling dalam. Bahwa Tuhan itu ada. Bahwa segala yang ada adalah hasil ciptaan dan pengaturan dari Tuhan. Lalu setelah mati, semua manusia akan kembali menghadap pada Tuhan  untuk mempertanggungjawabkan apapun yang dilakukannya selama hidupnya di dunia. Dan segala lika liku niat hatinya dalam dada.

Rasa seperti itu, benar benar hadir dan menguasai diri seseorang. Sehingga efeknya jadi mengubah itikad bathin dan prilakunya dalam hidup kesehariannya.

Nah apakah rasa seperti itu bisa dicapai dengan ikhtiar atau usaha? Atau itu baru bisa terjadi semata-mata hanya karena pemberian dari Tuhan?

Banyak ceramah, kotbah, diskusi dan omong omong dalam keseharian, iman itu adalah sebuah tindakan sengaja oleh manusia itu sendiri alias berkat usaha seseorang. Tanpa sengaja mengusahakannya, siapapun tak kan bisa untuk beriman. Artinya iman itu adalah bersifat free will. Kehendak bebas siapapun yang menginginkannya.

Tapi pertanyaannya,
Benarkah setiap orang yang telah mengusahakannya benar benar telah merasakan iman itu di hatinya?

Jika iya, kenapa hanya sedikit orang yang merasakan iman itu dalam hatinya? Padahal mereka telah bersusah payah untuk mendapatkannya? Tapi tak pernah terasa lekat di hatinya bahkan tak pernah hadir sama sekali?

Atau lagi, jika iya, kenapa sikap dan prilaku banyak orang yang sudah berusaha untuk itu sama sekali tak menggambarkan sikap dan prilaku orang yang beriman? Kenapa meskipun tubuh zahirnya rajin beribadah dan lidahnya rajin mengucapkan kalimat dzikir, tapi akhlaknya tetap sama dengan orang yang tidak melakukan semua itu? Kenapa mereka tetap gila dunia dan akhlaknya tidak mulia? Kenapa mereka tetap iri, dengki, ujub, takjub, tomak dan takabur?

Lalu disisi lain,
Kenapa ada orang yang sebelumnya kerjanya hanya sibuk krasak krusuk mengejar dunia maupun bergelimang maksiat, tanpa pernah terpikir tentang Tuhan atau agama sama sekali,  tahu tahu secara tiba tiba mendadak dia jadi taat pada Tuhan dan sikap serta prilakunya jadi berubah dari sebelumnya? Dan orang yang seperti itu tidak hanya ada dalam sejarah, tapi juga terjadi di sekeliling kita.

Banyak ayat dalam Al Quran menggambarkan bahwa kedua kondisi itu memang ada. Bahwa iman itu sebuah pilihan manusia iya dan sekaligus sebagai sebuah pemberian dari Tuhan juga iya. Mereka yang tak mau beriman (atas usaha mereka sendiri), dinyatakan sebagai orang yang dikutuk oleh Tuhan. Dan mereka yang diberi petunjuk oleh Tuhan (sebagai pemberian), disebut sebagai orang yang beruntung. Dan orang yang tak mendapatkannya, disebut sebagai orang yang merugi.

Jadi yang benarnya yang mana?
Apakah rasa iman itu hasil usaha atau hanya pemberian dari Tuhan?

Begitulah karakter logika berpikir. Selalu menuntut koherensi logis yang tertutup. Segala sesuatu harus ada algoritmanya secara matematis. Jika A benar maka B salah. Begitu juga sebaliknya. Itulah cara berpikir sistemik. Ada sebuah alur sistem. Sedang Tuhan, tak bisa dikalkulasi dengan apapun. Dia otonom dari apapun. Tidak bisa diciutkan menjadi sebuah rumus atau model berpikir apapun. Semakin manusia mengejar dan membangun prinsip yang bisa merangkum segalanya dari berbagai sisi, maka semakin menganga berbagai celah.

Sebabnya sederhana,
Karena dunia spiritual,  dunia agama, atau soal iman, bukan wilayah berpikir. Tapi adalah dunia rasa. Dunia bathin. Dimensi ruhani. Dan rumus yang bisa bekerja untuk itu, adalah rahasia Tuhan. Tak kan pernah bisa dipahami manusia sampai tuntas. Paling tinggi hanya seolah olah tuntas.

Tuhan bisa menjadikan segala sesuatu dengan sebab, dan sekaligus juga bisa tanpa sebab sama sekali. Dia bisa berbuat sekehendakNya. Apapun tak ada yang bisa membatasiNya.

Karena seorang hamba rajin berusaha dan mendekatkan diri padaNya dengan berbagai cara, akhirnya bisa juga mendapatkan rasa iman. Tapi sekaligus juga tidak. Dan siapapun yang tak pernah mengusahakannya, juga bisa mendapatkan rasa iman, karena kemurahan Tuhan, dia akhirnya diberi Tuhan petunjukNya.

Itu artinya,
Segala yang dipikirkan, direnungan dan dibayangkan manusia, akan tetap tidak pernah mencapai kepastian. Sejauh-jauh berpikir dan berusaha, tetap berakhir dengan tanda tanya besar.

Hikmah dibalik semua itu adalah, hanya pada Tuhanlah adanya kepastian tentang apapun. Selain dariNya, hanya tumpukan dugaan dan kesia-siaan. Maka disitulah relevansinya bahwa akhirnya, manusia harus rela pasrah pada Tuhan. Harus ridho pada apapun yang Tuhan mau. Orang-orang seperti itulah yang dalam Al Quran disebut sebagai orang-orang yang berserah diri pada Tuhan. Dan itulah orang-orang yang selamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebab dan Tujuan Saya Membuat Blog Wasilun Ini

Sejak saya masuk Islam, akhir Mei 2024, saya sering menuliskan renungan dan munajat spiritual saya di Sosmed seperti Facebook dan WhatsApp. Saya sebut masuk Islam, bukan berarti sebelumnya saya beragama lain. KTP saya sejak lahir Islam. Tapi seingat saya sejak tahun 2000-an, kesadaran saya sudah atheistik. Tak percaya lagi akan adanya Tuhan. Baru pada akhir Mei 2024 itu, secara tiba tiba diluar dugaan saya, saya benar benar meyakini bahwa Tuhan itu ada. Dan bahwa Nabi Muhammad itu benar benar utusan Allah. Itu disebabkan oleh pengalaman yang sangat tragis dalam hidup saya. Tentang ini saya tulis pada postingan lain. Intinya saya akui, bahwa saya baru benar benar syahadat dari hati saya, adalah saat itu. Maka sejak saat itu, setiap usai Sholat hingga menangis, saya sering menuliskan renungan dan munajat saya di Facebook dan WhatsApp. Tapi respon orang, tak seperti yang saya bayangkan. Umumnya datar alias tak menggubrisnya. Bahkan saya juga jadi bahan cibiran dan bullyan dari tem...

Syariat dan Hakikat: Mana yang Benar?

  Solusi Perkelahian Abadi Agama Syariat dan Agama Hakikat Ini adalah perkelahian abadi. Dari dulu sampai sekarang tak pernah usai. Bahkan sampai nanti. Karena keduanya adalah 2 sisi yang berbeda. Persis seperti minyak dengan air. Perkelahian Agama Syariat dengan Agama Hakikat. Syariat itu dimensi zahir sedang hakikat itu dimensi bathin. Syariat itu dimensi tubuh sedang hakikat itu dimensi jiwa. Syariat itu dimensi materi sedang hakikat itu dimensi roh. Syariat itu dimensi fisika sedang hakikat itu dimensi metafisika. Syariat itu dimensi teknis sedang hakikat itu dimensi prinsipil. Syariat itu dimensi partikular (juziyat) sedang hakikat itu dimensi universal (kulliyat). Syariat itu dimensi yang terukur, terbatas dalam ruang dan waktu. Sedang hakikat itu dimensi abstrak yang tak terdefinisikan melampaui ruang dan waktu atau tanpa batas. Syariat itu dimensi relatif sedang hakikat itu dimensi Absolut. Agama di level syariat, adalah syarat dan rukunnya. Seabrek tata cara ya...

Rokok Tidak Membatalkan Puasa karena Tidak Mengenyangkan?

  Rokok memang tidak mengenyangkan. Tapi yang membatalkan puasa, bukan hanya sekedar hal-hal yang mengenyangkan. Banyak hal yang tidak mengenyangkan, juga bisa membatalkan puasa. Contohnya bersetubuh dengan lawan jenis. Dan masih banyak contoh lainnya. Inti dari puasa, secara hakikatnya adalah, menahan hawa nafsu. Apapun bila itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu, maka itu bisa membatalkan puasa. Justru itu tujuan utama dari puasa. Latihan menahan hawa nafsu dari imsak sampai waktu berbuka. Bahkan meskipun kita tidak makan dan minum apapun, tapi dalam hati, kita begitu ingin untuk makan atau minum, sambil mengeluh betapa lelahnya menahan diri, sekaligus terbetik keinginan untuk melepaskan selera itu sepuas-puasnya jika waktu berbuka tiba, maka itu hakikinya nafsu kita masih bergojolak. Kebetulan secara syariatnya, puasa kita tetap sah alias tidak batal. Tapi pahala puasanya, menjadi tiada. Itu yang dimaksud dengan yang kita dapatkan selama puasa, hanya sekedar menahan haus da...